KOTOMONO.CO – Belum lama banjir di tempat saya surut. Tetapi, kecipak air masih tersisa. Menggenangi jalan, juga saluran-saluran air di sekitar rumah. Riskan kembali membludak, apalagi ramalan cuaca BMKG menyebutkan hingga akhir Maret intensitas hujan masih cukup tinggi. Dan memang, hujan masih kerap turun.
Bersamaan dengan itu, tempo hari nggak sengaja saya mendapat info bahwa Kota Pekalongan akan tenggelam pada tahun 2036. Info itu bikin merinding. Membayangkan nasib rumah saya yang ada di kawasan pesisir, tak jauh dari pantai.
Kabar itu sendiri saya peroleh saat memantau lini masa Facebook. Postingan info itu muncul di sebuah grup—saya asumsikan berisi orang-orang Pekalongan. Bahkan di WAG, saya mendapatkan informasi yang kurang lebih sama dari bos saya, Mas Angga. Namun bedanya, info yang dibagikan Mas Angga, Kota Pekalongan akan tenggelam pada 2040.
Entah versi mana yang tepat meramalkan tenggelamnya kota Pekalongan. Apakah 2036 atau 2040? Keduanya sama-sama masih prediksi. Yang satu dari Badan Geologi Kementerian ESDM, satunya lagi tulisan opini. Oke, saya akan membahas versi 2036 saja.
Tunggu dulu. Pilihan saya pada 2036 tidak berarti saya mengesampingkan hitung-hitungan dari tulisan opini tadi. Pun saya bukan bermaksud menafikan usaha bos saya untuk ngasih info.
BACA JUGA: Keluh Kesah Seorang Warga Terdampak Banjir tentang Foto-foto di Medsos
Tapi, jujur saja, perkara hitung-hitungan begini justru bikin warga biasa yang nggak mudheng geologi macam saya ini pusing setengah mampus. Meski begitu biar nggak malu-maluin, saya sedikit ngulik yang versi 2036. Tentu, dasar informasinya dari Badan Geologi.
Nah, hitungan Badan Geologi, permukaan tanah di Kota Pekalongan mengalami penurunan sampai 6 cm setiap tahun. Sementara posisi daratan Kota Pekalongan berada di ketinggian 100 cm di atas permukaan laut. Sampai di sini, saya masih paham. Tetapi, ketika sampai temuan angka 2036 saya masih sulit memahaminya. Makanya, saya belajar ngitung lagi. Tolong dibantu koreksi ya kalau keliru.
Oke. Kita mulai dari selisih antara angka 2021 dengan 2036. Jarak kedua angka itu menghasilkan angka 15. Artinya, 15 tahun. Kalau saban tahun muka tanah mengalami penurunan 6 cm, maka total penurunan muka tanah hingga 2036 baru mencapai 90 cm. Dihitung dari 6 dikalikan angka 15. Jadinya, 90. Ya kan?
Sekarang, kembali ke angka sebelumnya. Yaitu angka 100 cm untuk menyebut ketinggian permukaan tanah Kota Batik ditarik dari permukaan laut. Jika angka 100 cm itu dikurangi 90 cm, masih tersisa 10 cm. Artinya, masih ada sisa ketinggian muka tanah sebesar 10 cm. Terus, pertanyaannya ini tenggelam dari mana? Kalau dari hitungan ngawur saya itu, masih ada 10 cm lagi supaya air bisa melumat daratan.
BACA JUGA: Banjir Rob & Tenggelamnya Pekalongan 34 cm per Tahun
Iya sih, memang angka 10 cm adalah angka yang sedikit. Tapi coba Anda telaah lagi. Bagaimana kira-kira air bisa menenggelamkan sebuah kota jika masih ada defisit jarak dengan muka tanah sekitar 10 cm? Itu paling-paling kalau sudah meluap, katakanlah begitu, ya paling mentok bikin beberapa ruas jalan tenggelam, dan bukan kotanya yang tenggelam to?
Sampai di sini, saya cukupkan saja hitungannya. Silakan, jika Anda kurang puas bisa tanyakan langsung ke Badan Geologi, atau siapapun yang Anda percaya ahli hitung-hitungan muka tanah. Lebih baik saya lanjutkan ke pembahasan lain saja.
Begini, berita atau informasi mengenai ancaman tenggelam ini sudah sering saya dengar dan baca. Dan info ini selalu berulang. Terutama, manakala Kota Pekalongan sedang dilanda banjir hebat seperti bulan Februari 2021 kemarin. Selain itu berita tsunami atau adanya gelombang besar juga kerap mengiringi kabar banjir.
Apa reaksi warga setempat? Sebagian ada yang takut, sebagiannya lagi ada yang biasa saja. Soal yang pertama, saya serahkan saja pada para ahli psikologis biar di-trauma healing. Khusus yang kedua, ini juga saya alami.
Sebagai warga Kota Batik yang jiwa apatisnya sudah menancap kuat ke sanubari, berita Kota Pekalongan terancam tenggelam bagi saya seperti nasi yang didiamkan begitu saja selama 30 malam. Ini adalah berita yang terus-menerus diproduksi tanpa memperhitungkan orang-orang apatis macam saya. Pokoknya ketika isu banjir tengah menggeliat, hajar dengan isu tenggelam.
Jika ingatan saya tidak berkhianat, kabar Kota Pekalongan akan tenggelam sudah ada sejak 2010. Dan sekarang ini tahun 2021. Bayangkan, 11 tahun sudah isu itu terus dinaikkan. Toh kota kelahiran saya ini tetap gini-gini saja, nggak ada perubahan yang cukup signifikan.
Banjir. Surut. Banjir lagi. Surut. Banjir Lagi. Surut. Banjir lagi. Begitu terus polanya, tak pernah habis. Mungkin sampai saya punya cucu pun pola seperti itu akan terus ada. Lalu adakah solusinya?
Itulah pertanyaan yang selalu muncul. Pertanyaan yang juga sebenarnya berulang-ulang dan berkali-kali pula dijawab. Solusinya pun tak dijawab doang. Tapi juga dimanifestasikan dalam beragam bentuk. Mulai dari pompa hingga yang teranyar, berdirinya tanggul raksasa di sisi utara. Apakah berhasil?
Tentu saya bukan orang yang bisa mengatakan solusi tanggul itu berhasil atau tidak. Saya bukan ahli geologi atau semacamnya. Tapi, yang ingin saya bilang bahwa setelah tanggul itu berdiri Kota Pekalongan masih tergenang banjir.
BACA JUGA: Prototype Desain Rumah Untuk Wilayah Banjir Rob Pekalongan
Seandainya banjir terus berulang, mungkin saja Kota Pekalongan betul-betul akan tenggelam. Entah tahunnya kapan, silakan anda perkirakan sendiri. Saya sih nggak mau pusing memperkirakan itu, wong tahu Kota Pekalongan terancam tenggelam saja sudah bikin kepala pusing.
Apalagi semenjak saya mendengar bukan mustahil jika Kota Pekalongan akan kembali menjadi laut. Sebab dulunya, tanah yang saya pijak ini adalah laut. Sementara Pekalongan bagian selatan itu bibir pantainya.
Saya justru ngeri sendiri kalau-kalau prediksi Kota Pekalongan akan tenggelam itu bakal terjadi. Jadi bertambah ngeri lagi karena saya nggak tahu harus apa setelah tahu Kota Pekalongan terancam tenggelam. Apa yang mesti saya lakukan?
Apakah saya harus mengungsi atau bertransmigrasi? Apakah saya harus beli rumah dan tanah di bagian selatan? Apakah semestinya saya datang ke Pesindon menemui Pak Aaf supaya segera serius mencegah atau memitigasi hal ini?
BACA JUGA: Kanal Wadul Aladin dan Aplikasi Pekalongan Smart City yang Mbuh
Tak ada satu pun yang sanggup saya lakukan. Kecuali tetap tenang, jaga jarak, eh bukan. Maksudnya, yang bisa saya lakukan cuma berdiam di rumah sambil sesekali menulis atau mengerjakan skripsi.
Selebihnya saya nggak berdaya. Saya bukan Aang, bocah berkepala plontos yang bisa mengendalikan 4 elemen. Saya pun bukan adik kandung Thanos atau murid Doctor Strange.
Keilmuan saya juga belum sampai untuk memprediksi apa yang bakal terjadi setelah Kota Pekalongan tenggelam. Saya hanya bisa menebak.
Barangkali andai tiba waktunya tenggelam, bertahun-tahun berikutnya Kota Pekalongan akan menampakkan diri lagi. Misalnya seperti Desa Febbrige di Italia yang sudah tenggelam sekitar 25 tahun. Siapa bisa menyangka?
BACA JUGA artikel Muhammad Arsyad lainnya.