KOTOMONO.CO – Namanya Cak Kendor. Dia bukan seorang ahli agama, ahli nujum, apalagi ahli medis. Dia hanya orang biasa yang sesuai namanya: selalu kendor ketika melakukan sesuatu. Cak Kendor selalu kendor dalam berbisnis, kendor di bidang olahraga, kendor soal pengetahuan, kendor soal percintaan.
Oh ya, untuk yang terakhir ini mohon pembaca sekalian nggak usah mengingatnya saja. Sungguh kisah cinta Cak Kendor tak patut dibanggakan. Cak Kendor hampir kendor untuk urusan apapun, termasuk soal ibadah. Pembaca perlu ingat, kendor ini bukan berarti tak pernah, melainkan jarang-jarang saja.
Ia selalu bertanya. Selalu menggugat. Apalagi soal ibadah, tak terkecuali ibadah puasa. Bulan ini, Cak Kendor puasa. Ia tetap puasa, meskipun jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia sama sekali tidak menginginkan puasa.
Puasa bagi Cak Kendor adalah sesuatu yang tidak penting. Buang-buang waktu dan bukan main merepotkannya. Kata Cak Kendor, kita disuruh bangun pagi-pagi buat sahur, terus siang terik kita nggak boleh minum, tapi sewaktu berbuka kita hanya diberikan sedikit waktu buat makan. Sebab seluruh umat Islam harus sesegera mungkin menunaikan Maghrib. Itulah yang bikin Cak Kendor makin mangkel.
“Assalamualaikum, Cak,” sapa Ustaz Ndirin yang tiba-tiba menegur Cak Kendor yang lagi ngelamun sore-sore di depan rumahnya.
“Waalaikumsalam. Eh ustaz, monggo pinarak,” jawab Cak Kendor menggeser posisi duduknya ke samping, menyilakan Ustaz Ndirin duduk di sampingnya.
“Sehat, Cak?” Tanya Ustaz Ndirin.
“Sehat. Alhamdulillah.” Jawab Cak Kendor.
“Sampeyan puasa, Cak?” Ustaz Ndirin mulai menyelidik, karena tahun kemarin belio hampir selalu menemani makan siang Cak Kendor selama Ramadhan. Katanya malu kalau makan sendiri. Cak Kendor ini lumayan akrab dengan Ustaz Ndirin.
“Lho, sampeyan ojo ngece ngunu, tadz. Tahun ini saya puasa penuh kok. Yakin.”
“Alhamdulillah… Tapi saya lihat wajah sampeyan nggak mengenakan gitu, kenapa?” Tanya Ustadz Ndirin sambil melirik wajah Cak Kendor.
“Nganu, tadz. Puasa itu ternyata blasss nggak enak je.” Jawab Cak Kendor mantap.
“Kalau itu menurut orang seperti sampeyan, saya nggak kaget mendengarnya,” seloroh Ustaz Ndirin.
“Kulo serius niki ustaz. Mboten guyon,” Cak Kendor mulai mempertegas maksudnya. Ustaz Ndirin pun terpaksa harus mendengarkan celoteh Cak Kendor.
“Cari makan sekarang susah, tadz. Saya belum bulan puasa saja sudah berpuasa. Ini kok malah nggak boleh makan dan minum,” lanjut Cak Kendor.
“Kata siapa nggak boleh makan, Cak? Selama puasa boleh kok makan dan minum, tapi malam hari,” jawab Ustaz Ndirin sambil terkekeh.
“Maksud saya gini, tadz. Buat apa juga kita puasa diatur-atur gini. Harus sahurlah, bukalah. Padahal di luar bulan puasa, orang-orang kayak saya ini sering berpuasa tanpa sahur, bukanya juga kalau ndilalah dapat penumpang,” Cak Kendor menerangkan, dia ini kesehariannya mbecak. Sementara Ustaz Ndirin masih terdiam.
“Padahal kemarin, seingat saya ustaz pernah bilang kalau puasa ini supaya umat Muslim tahu bagaimana rasanya menjadi orang kelaparan. Tapi mereka kok cuma menahan laparnya sampai sore doang ustaz? Harusnya kalau mau belajar dadi wong melarat yang beli makanan saja susah, mereka puasa sehari full, nggak usah buka dan sahur,” Cak Kendor makin berceloteh. Ustaz Ndirin diam menyimak.
“Jauh sebelum bulan puasa tiba, nggak ada orang yang mau kelaparan ustaz. Orang-orang di Ethiopia sana, juga saya yakin kalau disuruh memilih, mereka pasti memilih untuk tidak kelaparan. Tapi kenapa untuk puasa di Bulan Ramadhan malah banyak yang senang berpuasa ya, tadz? Menahan lapar dan haus itu berat banget lho,” Cak Kendor makin meracau, entah dari mana dia dapat referensi soal Ethiopia.
“Puasa Ramadhan memang disyariatkan siang hari, Cak. Justru karena itulah tantangannya. Coba kalau malam hari, orang akan cenderung memutuskan buat tidur. Hakekat menahan dirinya nggak ada,” Ustaz Ndirin tiba-tiba menanggapi celotehan Cak Kendor.
“Orang miskin yang bisa menahan lapar berhari-hari emang juara, Cak. Wajar kalau Allah sangat menyayangi orang miskin. Terutama sampeyan, Cak,” Ustaz Ndirin kembali berseloroh.
“Cak, sebetulnya soal puasa tidak menyenangkan, itu saya juga sepakat. Malah kalau boleh jujur, semua ibadah itu nggak ada yang menyenangkan lho, Cak. Dan memang sengaja dibikin seperti itu.”
“Ah! Omong kosong itu, tadz. Buktinya orang-orang kayak sampeyan inilah yang selalu bilang ibadah seperti puasa itu menyenangkan. Bukankah kemarin ustaz bilang begitu?” Tanya Cak Kendor agak sedikit memasang wajah sinis.
Ustaz Ndirin pun terdiam sejenak. Belio tahu apa yang dimaksud Cak Kendor. Ustaz Ndirin sengaja memberi jeda sebelum menanggapi apa yang dikatakan Cak Kendor.
“Segala ibadah, yang ujungnya adalah Ridho Allah, itu sengaja didesain tidak menyenangkan, Cak. Mulai dari salat, zakat, sampai puasa.”
“Kenapa Allah tidak bikin saja ibadah itu menyenangkan, tadz? Yhaaa supaya tukang ceramah kayak sampeyan ini nggak terus-terusan membual kalau ibadah itu menyenangkan.”
“Kalau Allah mau, sangat mudah bagi-Nya bikin semua ibadah itu menyenangkan. Tapi Allah sengaja membikin ibadah tidak menyenangkan, justru di situlah letak cintanya Allah kepada kita. Begitu pula Allah ingin menguji seberapa besar cinta kita kepada-Nya. Karena kalau soal kesenangan itu sifatnya sebentar, Cak.”
“Maksudnya gimana, tadz? Saya kok nggak mudeng blas.” Cak Kendor menggaruk kepalanya.
“Begini. Kalau sampeyan itu sudah tahu ibadah kayak puasa itu berat, tapi tetap menjalankannya itu berarti sampeyan hebat, Cak.”
“Bandingkan jika misalnya puasa itu menyenangkan. Lho apa hebatnya sampeyan melakukan sesuatu yang menyenangkan buat sampeyan?”
“Masih belum paham, tadz.”
“Sederhana begini, sampeyan pernah jatuh cinta, tho?” Ustaz Ndirin sedikit cekikikan.
“Ustaz ini ngeledek. Gini-gini saya ya pernah jatuh cinta.”
“Kalau orang jatuh cinta pada orang lain, ia bakal melakukan apapun buat seseorang yang dia cintai. Bahkan untuk sesuatu yang tidak dia sukai. Benar begitu?”
“Iya, ustaz. Seingat saya dulu saya juga begitu. Eh, malah saya yang kena gampar, tadz.”
“Itulah bedanya. Kalau kita mencintai seseorang, belum tentu kita juga dicintai orang itu. Namun kalau kita mencintai Allah, itu sudah pasti kita bakal dicintai balik oleh-Nya.”
Usai jawaban tersebut, suara Azan Maghrib dari corong Musala pun berkumandang. Masuk ke kuping Ustaz Ndirin dan Cak Kendor. Tiba-tiba saat keduanya asyik menyimak suara muazin, seorang perempuan keluar dari dalam rumah.
“Mari buka di sini, tadz,” tawar perempuan itu.
“Lho, ini siapa?” Tanya Ustaz Ndirin setengah menyelidik karena belio kaget ada perempuan di rumah Cak Kendor.
“Istri saya, tadz.” Jawab Cak Kendor mantap.
Catatan: Tulisan disarikan dari berbagai sumber.
BACA JUGA Seri Tulisan Ngabuburit dan tulisan menarik Muhammad Arsyad lainnya.