KOTOMONO.CO – Sungguh sial jadi warga kecil di Pekalongan. Sudahlah jadi korban krisis iklim, eh tetap saja sering disalahkan. Sering-sering diberi imbauan. Sudahlah banjir nggak surut-surut.
Tiap hari menjadi momok yang menakutkan. Momok yang tidak bisa diprediksi kapan datangnya. Belum lagi wisata air yang baru dibangun membawa dampak lain lagi.
Jalanan jadi makin macet. Jumlah mobil jadi semakin banyak karena memang wisata itu cuma menarik buat warga non-lokal. Buat warga lokal? Tentu hanya bagi mereka yang hobi cekrak-cekrek. Pamer ke sana kemari biar kelihatan edgy.
Permasalahan-permasalahan itu sudah makin menumpuk. Tapi tak pernah satu pun saya membaca berita penanganan masalah yang konkret. Apakah memang saya kurang update? Atau jangan-jangan sengaja tak diberi tahu, supaya warga kecil macam saya ini jadi terkejut, tiba-tiba sudah nggak banjir lagi, begitu?
Entahlah. Namun, di Istana sana, saya dengar sedang ada ontran-ontran. Minyak goreng sedang mahal. IKN sedang buntu karena uang untuk membangunnya masih mencari siapa yang mau urunan.
Saya dengar Megawati, yang Ketua PDI mau ngadain demo masak tanpa minyak goreng. Wah! Sungguh brilian sekali. Ya brilian, brilian buat dirinya sendiri.
Kita memang kesulitan untuk melihat cara konkret pemerintah dan elite mengatasi masalah. Minyak goreng harganya mahal, kok malah ngadain demo masak tanpa minyak goreng?
Okelah. Baiknya kita nggak usah bahas yang kejauhan. Di Istana sana biar diurus orang-orang istana saja. Kita warga kecil mah manut saja, bukan begitu saudara sepermiskinan?
Kita sering melihat bagaimana cara pemerintah mengatasi masalah, termasuk tentu saja rob atau banjir atau apalah itu namanya terserah. Saya nyebutnya banjir saja. Lho, kenapa kok banjir bukan rob? Ya suka-suka saya dong, wong saya yang nulis.
Oke lanjut. Pemerintah, terutama pemerintah kota sih, sering banget bilang mau menangani banjir. Demi kerang ajaib, saya sering mendengar pernyataan itu. Bahkan bukan hanya sekali, setidaknya tiga periode walikota saya sudah pernah mendengarnya.
Baiklah, saya yakin kalian sedang sibuk dengan Pak Ribut. Wajar kalau lupa bahwa Pemkot kesayangan kita ini sudah maju empat ratus langkah ke depan menangani rob. Coba saja baca berita ini, ini, ini, ini, ini, dan ini.
Lalu apa hasilnya? Pasti kalian penasaran, kan? Yaqin puo nyong juga penasaran. Tapi ngapuntene niki, saya sudah merasakan langkah-langkah penanganan itu solutif tapi tidak cukup cespleng.
Ibarat nguntal obat tapi nggak manjur. Yang sakit perut tetap sakit perut. Punggungnya sakit tetap sakit. Sakit kepala tetap mumet. Sakit hati tetap nggak punya pacar.
Terus kita misuh-misuh. Bajingan obate ora manjur. Muspro! Sek.. sek.. ojo tiru-tiru misuh, nyong tak wisuh sek.
Menurut saya, obat tetap manjur sebagaimana fungsi obat di dunia medis. Ini saya ngomongin soal medis lho, ojo terus ono sing protes “Kan, kuwi sing nyembuhke Gusti Allah”, yaqin puo tak ketak sirahmu!
BACA JUGA: Kerja Baik Satpol PP Kota Pekalongan Perlu Kita Apresiasi Setinggi-tingginya
Dalam hal ini, pasti ada yang nggak pas. Bisa jadi dan kemungkinan besarnya adalah resepnya yang ngawur. Namun resep nggak bisa menulis sendiri. Jadi ini yang nggak beres si penulis resepnya.
Artinya, soal banjir, resep adalah daftar cara-cara mengatasinya. Obat adalah wujudnya. Maka yang menulis resepnya adalah pemerintah, ya apa tidak?
Dengan kata lain resep adalah daftar kebijakan untuk menangani rob. Sementara obatnya drainase, tanggul, penataan sungai, dan sebagainya. Yang menulis kebijakan tentu pemerintah berdasarkan kajian yang tepat.
Semestinya begitu. Tapi mari kita baca kembali, apa yang dilakukan pemerintah dalam merumuskan kebijakan menangani banjir sudah tepat? Warga Pekalongan pasti tahu jawabannya.
Seorang dokter mustahil menulis resep kalau ia tak menganalisis pasiennya, sebelum akhirnya mengeluarkan diagnosa. Lha, terus apa dalam menangani banjir Pemkot Pekalongan melakukan hal yang sama? Menganalisis korbannya baru memutuskan langkah kebijakan penanganan yang tepat?
BACA JUGA: Merayakan Kemesraan Pemkot Pekalongan dengan Wartawan Lokal
Jika iya, daerah-daerah rawan banjir sudah aman sentosa. Saya sudah nggak lagi ngedumel karena motor yang saya tunggangi melewati banjir dan mogok. Jika iya, saya nggak mungkin menulis esai ini. Jika tepat, mustahil ketika saya ketik “rob” di mesin pencari di website resmi Pemkot Pekalongan muncul beritanya sampai 12 halaman.
Fyi aja, satu halaman itu bisa ada 10 berita yang berkaitan dengan kata kunci “rob”. Jika ditotal berarti ada 120 berita soal rob. Lha kalau sudah tertangani, mengapa beritanya terus ada? Ini belum saya cari di website nonpemerintah, lho. Ha bisa sampai ribuan nanti.
Jadi, mengapa banjir masih menggenangi ruas jalan dan rumah-rumah penduduk? Apa ini karena azab? Azab itu pasti, tapi saya nggak bisa menilai apa yang terjadi adalah azab. Wong saya itu bukan stafnya Gusti Allah.
Dugaan saya, pemerintah kota ini tidak melakukan analisis pada korban. Oke, saya nggak bisa menutup mata bahwa Pemkot memang menggelar acara semacam dengar pendapat. Namun, apa mereka bisa jamin itu bukan sekadar acara seremonial?
Lagi pula kalaupun betul adanya, yang hadir paling hanya para elite. Lho! Jangan sembarangan! Ada warganya, kok!!!
BACA JUGA: Pemkot Pekalongan Mau Meningkatkan Ekonomi, tapi Kok Malah Kebanyakan Pelatihan?
Oke, oke. Siap. Saya revisi. Yang hadir memang ada warganya, tapi perwakilan. Betul begitu kan? Perwakilan yang sangat tidak representatif dan tetap saja elitis.
Misalnya Ketua RT, Ketua RW, atau Lurah. Mereka itu kan kaum elite semua. Benar bahwa ketua RT, RW, dan Lurah asalnya dari warga. Namun ketiganya adalah jabatan struktural dan mau nggak mau menuruti aturan para sinuhun mereka masing-masing.
Ketiganya juga tidak bisa disebut perwakilan dari warga. Apalagi perwakilan dari warga yang kena imbas banjir. Sebab boleh jadi ada warga di satu RW rumahnya setengah kelelep, sulit beraktivitas, nggak bisa kerja, dan selalu bertemu air. Namun yang diajak ngobrol Ketua RW-nya, yang rumahnya aman sentosa dan tiap hari tinggal udad-udud di teras rumah sambil ngelapi PCX-nya.
Sementara sisanya yang diajak ngobrol para dinas terkait, badan persungaian, aktivis, orang-orang dalam kubangan Pemkot, mantan timses, dan pengusaha yang semua itu biar lebih ringkas disingkat stakeholder.
Seumpama dokter, Pemkot memang melakukan analisis untuk memecahkan masalah. Tapi yang dianalisis, didiagnosa, dicermati, dan ditanya-tanya bukan korban, bukan pasien, bukan terdampak, namun malah kaum elite. Alhasil seperti ngomong di depan cermin!
BACA JUGA: Warga Pekalongan Nggak Usah Ngamuk Kalau Tiket Wisata Air Terbesar “Mahal”
Mustinya kalau mau masalah banjir tuntas, yang diajak ngobrol itu ya warga terdampak. Tapi, itu sulit sih (atau memang males saja?). Meskipun ya tetap diupayakan.
Jangan njug warga kecil macam saya cuma kebagian nasehatnya saja. Jangan sekadar datang ke pengungsian kemudian mendengar keluhan dan diakhiri menyerahkan paket sembako. Ingat! Posisi pemerintah seperti Pemkot adalah yang bikin resep, bukan obatnya!
Oh iya sampai lupa. Jangan buang sampah sembarangan ya saudaraku~