KOTOMONO.CO – Pengalaman orang nggak bisa disamakan dengan orang lain. Tapi, pasti ada hubungannya dengan orang lain. Ya kan?!
Ya iya dong! Manusia kan makhluk sosial. Nggak mungkin kalau nggak butuh orang lain, sekalipun mungkin saja tujuan berhubungan itu cuma buat pansos. Atau sekadar buat tempat nyandarin kepala saat air mata berderaian membasahi pipi.
Apapun tujuannya, setiap orang butuh orang lain. Itu sudah rumus pasti. Nggak bisa ditawar-tawar lagi.
Tapi, akan lebih baik jika hubungan itu dijalankan dengan sikap positif. Artinya, hubungan itu tak membuat kedua pihak merasa dirugikan. Sebaliknya, hubungan itu bisa membuat kedua pihak merasa tersemangati untuk menjalani hidup dan menjadi pribadi yang lebih baik. Syukur, jika bisa saling mendorong dan mendukung pengembangan potensi diri.
Sayang, hubungan pertemanan yang begitu ibarat mencari sebatang jarum yang bersembunyi di dalam tumpukan jerami. Meskipun ada, tapi sulit menemukannya. Padahal, yang namanya relasi pertemanan yang positif itu sangat mungkin bisa membuat seseorang menjadi tahu apa kompetensi dirinya.
Dengan kata lain, mencari teman yang tepat itu sangat-sangat diperlukan. Lalu, bagaimana caranya?
Di era seperti sekarang, mencari teman itu nggak sulit-sulit amat sih. Apalagi ketika suka mainan medsos. Kita bisa saja menjaring relasi pertemanan dengan sebanyak-banyak mungkin orang. Tentu, salah satu upaya yang bisa dilakukan ya terus menjaga komunikasi dengan relasi-relasi kita.
BACA JUGA: Pentingnya Hubungan Tanpa Birahi dalam Dunia Pacaran yang Harus Laki-laki Tahu!
Kalau misal ada anggapan bahwa pertemanan dumay itu nggak riil, nggak bisa diandalkan, ya ambil positifnya aja. Siapa tahu, anggapan itu bisa kita gunakan sebagai pengingat, agar kita berhati-hati dalam menjalin pertemanan di dumay. Tetapi, bukan lantas anggapan itu membatasi kita untuk menjalin pertemanan dengan sebanyak mungkin orang. No no no no!
Tetap jalankan komunikasi sebaik mungkin dengan teman-teman kita. Tapi, jangan lupa pula untuk selalu memfilter, sehingga kita benar-benar tahu mana teman beneran, mana yang pura-pura jadi teman. Yang beneran teman, dijaga baik-baik hubungannya. Yang sekadar pura-pura, ya anggap saja sebagai penggembira. Teman berhaha–hehe atau sekadar teman berwkwkwk.
Hanya, yang patut diwaspadai adalah fluktuasi emosi alias naik-turunnya emosi. Jangan sampai gara-gara nggak bisa ngontrol emosi, hubungan pertemanan yang kita jalin terciderai. Sakit lho kalau sudah ada yang merasa pertemanan itu rusak. Apalagi kalau nyenggol hal-hal yang sensitif, seperti masalah identitas diri.
Nah, kalau sudah ngomongin identitas, kalian pasti masih ingat kan bagaimana situasi psikologi sosial masyarakat negeri ini saat jelang Pilpres yang lalu? Atau, yang paling dekat ya Pilkada deh. Kalau nggak salah ingat, saat itu banyak orang yang tiba-tiba bisa saling marahan sampai putus hubungan pertemanan gara-gara beda pilihan.
BACA JUGA: Reformasi Birokrasi Tidak Tuntas, Negara Ini Mau Dibawa ke Mana?
Kalau mau jujur, beda pilihan itu bukan masalah yang krusial. Beda pendapat juga tak seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang bikin sial. Tetapi, masalah itu muncul karena yang disinggung adalah hal-hal sensitif—yang secara tak langsung—berkaitan dengan isu SARA.
Lebih disayangkan lagi, isu SARA yang kemudian dikembangkan jadi politik identitas itu malah dijadikan ajang untuk mendapatkan dukungan. Alhasil, masyarakat pun mudah digiring ke dalam polarisasi kekuatan politik. Bahkan, seolah-olah masyarakat sedang diadu. Hubungan pertemanan yang awalnya baik-baik saja, mendadak rusak gegara pemilu.
Oh, betapa terasa sia-sianya hidup ini. Kita bertengkar hanya untuk sesuatu yang absurd saat itu. Betapa itu semua sangat nggak relate. Mestinya, para elite politik lebih mengedepankan isu-isu yang relevan. Terutama, tentang pengalaman leadership para calon. Plis dong, bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat. Tolong jangan diulangi lagi. Jangan lagi-lagi kalian rusak hubungan pertemanan kami. Oke?
BACA JUGA: Lakukan 4M dalam Belajar supaya Kamu Benar-benar Dapat Ilmunya
Perlu bapak dan ibu yang terhormat tahu, dalam prinsip pertemanan yang umum saja seorang teman bisa datang dan pergi dengan sendirinya. Ia bisa datang-pergi tanpa harus diusik dengan masalah ini-itu. Ada banyak alasan. Bahkan, orang yang semula selalu memberi dukungan bisa saja tiba-tiba pergi tanpa harus disebabkan suatu masalah. Eh, kok bapak dan ibu yang terhormat malah menyemprotkan air comberan di arena pertemanan kami.
Terus terang, pemandangan yang disodorkan oleh Pemilu itu benar-benar bikin hati jadi pilu. Bagaimana nggak, menjalani prinsip pertemanan saja kita kadang masih terseret oleh luapan emosi. Masih bisa sakit hati kalau ada seorang sahabat tiba-tiba pergi tanpa alasan yang jelas. Tiba-tiba, Pemilu malah bikin semuanya ambyar!
Semoga 2024 nggak seperti tahun-tahun kemarin deh. Supaya kita bisa lebih khusyuk menjalani hubungan pertemanan. Tidak sakit hati ketika seorang sahabat pergi. Apapun alasan yang membuatnya pergi. Dan, yang lebih penting lagi adalah supaya kita bisa menjalin relasi yang lebih banyak lagi.
BACA JUGA: Cinta dan Pengorbanan Itu Sepaket, Nggak Bisa Ditawar
Ya, memiliki banyak relasi itu penting. Agar kita punya kesempatan yang lebih besar untuk menentukan dan menempatkan orang yang tepat sebagai teman sejati. Terlebih, kita sadar, tak ada seorang pun yang bisa menjadi bagian seutuhnya dari orang lain. Namun jangan hanya memanfaatkan keadaan tersebut untuk keuntungan diri sendiri, tetapi juga harus bertindak semestinya.
Lalu apa kunci dalam menjalin koneksi? Untuk urusan ini, kita bisa belajar kepada seorang petani menanam padi. Dia tidak bekerja untuk dirinya sendiri dan keluarga. Akan tetapi, juga untuk banyak orang, meski orang-orang itu tak mengenalnya.
Artinya, menjalin koneksi itu bukan memikirkan bagaimana mendapatkan keuntungan untuk diri sendiri. Yang lebih diutamakan adalah bagaimana cara kita memberi.
Selanjutnya, kita optimalkan diri kita agar dapat melakukan kerja kolaborasi dalam melahirkan sebuah karya. Tak perlu sempurna untuk memulai. Mulai saja dari apa yang mungkin bisa kita kerjakan bersama. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan pengalaman serta punya kesempatan untuk mengevaluasi apa saja yang kurang dari kita untuk kemudian diperbaiki.
Sudah pasti, kerja kolaborasi itu menciptakan suatu hal yang impactful. Kalau bekerja sendiri bisa cepat, dengan kerja kolaborasi kita mestinya bisa bergerak lebih jauh. Makanya, perlu ada kemufakatan untuk mendapatkan keputusan yang tepat.
Asal tahu saja, kerja kolaborasi itu masalahnya lebih kompleks. Karena bersangkutan juga dengan orang-orang yang kita ajak berkolaborasi. Tetapi, itu bukan kendala, melainkan tantangan yang mesti dijawab bersama. Makanya, mencintai masalah dalam kerja kolaborasi itu wajib. Sebab, kata seorang motivator, salah satu ciri-ciri orang sukses itu adalah mencintai tantangan.
Tentu, untuk mencapai kata mufakat dalam kerja kolaborasi, masing-masing pihak mesti memiliki visi dan misi yang sama. Meskipun cara pandang kalian berbeda-beda, itu bukan masalah. Malah, itulah bagian penting dari kolaborasi.
BACA JUGA: Krisis Etika Mengancam Gen Z
Cara pandang yang berbeda pada prinsipnya adalah value diri. Sehingga, dengan cara pandang yang beda-beda itu, kita akan sama-sama belajar untuk bisa saling menghargai perbedaan pendapat dan menghormati keputusan yang sudah disepakati. Bahkan, dengan cara pandang yang berbeda-beda itu pula, kita juga bisa menempatkan diri dengan tepat.
Misal, karena alasan tak sevisi dan semisi, kita bisa saja menolak ajakan kolaborasi itu dengan sikap yang jelas dan pasti. Kita bisa mengatakan tidak, tetapi jangan sampai membuat orang yang mengajak kolaborasi merasa sakit hati.
Perlu pula kita memberi penjelasan, mengapa kita tak bisa berkolaborasi tanpa menyudutkan orang yang akan mengajak kita berkolaborasi. Malah, sangat perlu bagi kita untuk memberi mereka semangat dan dukungan atas apa yang sedang mereka rencanakan. Life will better with communication.
BACA JUGA: Hidup Tanpa Luka Itu Nonsense!
Jadi, sebagai manusia, kita harus memanfaatkan waktu, kesempatan, dan pikiran kita untuk menjalin koneksi dan kolaborasi dengan orang lain. Jangan buang waktumu dengan hal yang sia-sia. Sekalipun ada kesempatan, yang terpenting gunakan dengan bijak.
Terutama generasi milenial, gunakan kesempatan itu dengan cara berorganisasi, leader-ship, mengikuti webinar, dan lain-lain. Dengan hal ini, kita dapat belajar dan dan mendapatkan pengalaman baru yang nantinya dapat diterapkan di masa depan terutama dalam dunia kerja. Selain itu, sebagai anak muda harus memiliki kemampuan menjalin koneksi dan kolaborasi. Hanya generasi muda yang bertanggung jawab dan mampu mewujudkan Indonesia Emas 2045.