KOTOMONO.CO – Tidak sedikit, orang-orang yang memiliki nama besar lebih dikenal di daerah lain daripada daerah asalnya. Sebut saja misalnya, Goenawan Mohamad yang asalnya Batang, lebih dikenal sebagai tokoh budaya di Jakarta. Atau Rudy Hadisuwarno yang lahir di Pekalongan, lebih dikenal sebagai seorang penata rambut di Ibukota pula. Atau Djoko Suryo, ia lebih dikenal di masyarakat Jogja sebagai seorang guru besar Ilmu Sejarah di UGM.
Begitu pula dengan tokoh yang satu ini. Namanya malah diabadikan sebagai nama jalan di Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Bahkan, menjadi jalan di jantungnya Ibukota. Tepat berada di kawasan Kantor Gubernur Kalimantan Tengah. Padahal, ia adalah salah seorang putra daerah Pekalongan. Tentu, penyebutan namanya sebagai nama jalan punya alasan khusus. Lantas, apa alasannya?
Setelah tujuh tahun Indonesia merdeka, masyarakat Kapuas, Barito, dan Kotawaringin mengajukan usul kepada Pemerintah Daerah Kalimantan dan Pemerintah Pusat, agar dibentuk provinsi administratif Kalimantan Tengah. Kala itu, pemerintah baru bisa menyanggupi pembentukan tiga provinsi di pulau Kalimantan, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Padahal, kondisi kawasan itu sudah sangat ramai. Banyak penduduk yang menghuni dan menetap di kawasan itu. Keramaian ini membuat masyarakat merasa perlu adanya penataan dan pengelolaan yang tersistem. Agar segala kebutuhan warga dapat dipenuhi dan terjangkau.
Namun, harapan itu hampir saja menjadi mimpi panjang. Minimnya keuangan negara pada masa itu menjadi kendala yang mesti harus dibayar dengan rasa kecewa. Diperparah lagi dengan kemunculan Undang-Undang Darurat Nomor 25 yang dikeluarkan pada tahun 1956.
Baca juga : Hoo Tong Koey, Letnan Tionghoa yang Suka Seni Karawitan
Tak pelak lagi, sebagian masyarakat Kalimantan berang. Berbagai aksi protes pun dilakukan demi mewujudkan mimpi mereka. Konflik tak terbendung. Situasi pada masa itu begitu cekam. Tentu, Pemerintah Pusat tak tinggal diam. Melalui peran tokoh yang satu ini, stabilitas keamanan dibebankan pada pundaknya. Ia mesti menjamin keamanan dan harus memadamkan api yang bergolak di tanah Borneo itu. Apalagi ia ditunjuk sebagai Gubernur Kalimantan yang sekaligus Ketua Koordinator Keamanan Kalimantan. Gencatan senjata pun tercapai.
Sejak itu, perundingan demi perundingan dilakukan. Berbagai pertemuan dilangsungkan, mempertemukan tokoh-tokoh penting masyarakat Kalimantan dengan perwakilan Pemerintah Daerah Kalimantan dan Pemerintah Pusat. Tokoh yang satu ini pun ikut serta dalam perundingan-perundingan itu. Hingga pada saat kata sepakat dimufakati, jebolan OSVIA bagian 2 di Magelang ini pula yang selanjutnya mengumandangkan pembentukan provinsi Kalimantan Tengah, tepatnya pada tanggal 10 Desember 1956. Peristiwa itulah yang kemudian membuatnya diangkat sebagai Gubernur pembentuk Kalimantan Tengah dan menjabat selama satu tahun (1 Januari 1957-30 Juni 1958).
Selain itu, dalam masa jabatannya sebagai Gubernur Kalimantan, alumni Lagere School (Sekolah Dasar Belanda bagi para putra bangsawan) di Pekalongan ini juga menjadi tonggak awal berdirinya Kampung Pelajar Mulawarman di Banjarmasin. Dalam catatan Humaidi (dosen IAIN Antasari Banjarmasin), Kampung Pelajar Mulawarman Banjarmasin itu merupakan gagasan dari putra Pangeran Ario Notodirdjo ini. Menurutnya, putra kelahiran Pekalongan pada tanggal 31 Maret 1896 ini memiliki gagasan cemerlang dan sangat berguna bagi pembangunan masa depan, terutama bagi masyarakat Kalimantan.
Baca juga : Profesor Linguistik Dunia Asal Pekalongan
Sayang, kondisi Kampung Pelajar Mulawarman di Banjarmasin saat ini kurang terawat. Padahal, di dalamnya terdapat bangunan-bangunan sekolah dari berbagai jenjang. Mulai dari TK hingga SLTA. Juga terdapat stadion mini yang berdampingan dengan Stadion 17 Mei.
Selain dikenal dan dikenang oleh masyarakat Kalimantan, mantan Mantri Polisi yang pernah bertugas di Tegal, Lebaksiu, dan Brebes ini juga pernah menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur (1958-1959) menggantikan gubernur sebelumnya, R. Samadikun. Pernah juga menjabat Sekretaris Kabupaten kelas I di Banyumas, Bupati Pati. Meski begitu, apa yang dicapainya itu tidak serta merta. Ia memulai kariernya sebagai seorang Wedana di Slawi.
Namanya, mungkin tak banyak diperbincangkan lagi sekarang ini. Apalagi pada saat riuh ramai menyoalkan rencana pemindahan Ibukota Negara oleh Presiden Joko Widodo. Dalam catatan Arsip Daerah Kabupaten Pati disebutkan, gagasan pemindahan Ibukota itu sudah ada semasa putra daerah asal Pekalongan ini menjabat sebagai Bupati Pati. Bersama Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, ia ikut menggagas pemindahan Ibukota dari Jakarta ke Palangkaraya. Sayang, gagasan itu mendadak kandas dikarenakan keadaan keamanan yang tidak menentu. Terutama karena tuntutan pembentukan provinsi keempat di Kalimantan, yaitu Kalimantan Tengah.
Baca juga : Mubarak Kelip, Si Cabe Rawit Andalan Timnas Indonesia
Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ia juga dikenal sebagai sosok yang sangat berjasa bagi masyarakat Pati. Terutama dalam upaya mempertahankan Pati dari berbagai macam ancaman, baik dari pihak Belanda dan Jepang, maupun dari rongrongan organisasi kiri, PKI. Dialah Raden Tumenggung Ario Milono. Hingga sekarang, ketika saya menelusuri data pribadi beliau di berbagai laman, tak disebutkan kapan beliau meninggal dunia.