KOTOMONO.CO – Hidup tanpa luka itu mustahil. Tapi, merasa menderita sepanjang hayat gara-gara luka dalam sekali, itu bodoh namanya.
Semua orang di muka bumi ini pasti pernah merasa terluka. Itu fix dan clear! Hanya, antara satu orang dengan yang lain punya cara menyikapi yang berbeda.
Ada yang gara-gara terluka enggan bangkit. Ada juga yang sampai membenci dirinya sendiri. Bahkan, ada yang membenci jalan hidup yang dilalui sambil mengutuk dirinya sendiri.
Nangis? Itu wajar. Marah? Masih wajar-wajar aja sih. Tapi kalau sudah mengurung diri dan menutup diri dari pergaulan, itu perlu diwaspadai.
Kalau sampai menutup diri, itu tanda kalau luka yang dialami seseorang telah menjelma menjadi rasa benci. Bahkan, bisa saja kebencian yang dialaminya itu telah menguasai pikiran dan perasaannya.
Mula-mula, kebencian itu ditujukan kepada orang lain, terutama yang dianggap sebagai pesaing. Dengan segala cara ia berusaha agar orang-orang di sekitarnya membenarkan pandangannya tentang pesaingnya itu. Bila perlu, ia akan membuktikan kebenaran pandangannya.
BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Perempuan yang Selalu Dituntut ‘Manut’ dengan Pasangannya
Tetapi, lama kelamaan, rasa benci itu bisa makin parah jika luka hatinya tak juga disembuhkan. Pada tahap lebih parah, seseorang yang diliputi kebencian akan cenderung mendendam. Lalu, bersusah payah mencari cara agar yang dibencinya itu merasakan luka yang sepadan.
Dan pada tahap berikutnya, dendam yang ia rasakan akan membuatnya justru merasa terkucil dan semakin menutup diri. Sambil mengurung diri, biasanya ia akan membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain.
Situasi begini, akan membuat seseorang yang terluka itu justru semakin terpuruk. Segala kenyataan yang ada di depannya ia tolak. Ia tidak bisa menerima kenyataan dengan sikap jujur dan terbuka. Dengan begitu, ia justru membuat dirinya gagal menemukan dirinya sendiri dan potensi yang ada pada dirinya.
Akibatnya, apa yang mestinya bisa ia lakukan tidak dapat ia wujudkan. Apa yang mestinya ia capai, gagal pula ia raih. Dan pada akhirnya, ia akan merasa menjadi orang yang selamanya gagal dalam menggapai cita-citanya. Ia bahkan membenci dirinya sendiri. Parah kan?
Makanya, ada baiknya kita belajar dari luka. Seperti kata Tan Malaka, “terbentur, terbentur, terbentur, dan terbentuk”. Apa sih maknanya?
Sederhananya begini, seseorang yang hendak menggapai makna hidup yang hakiki mesti siap menghadapi berkali-kali luka. Sebab, sejatinya, luka merupakan bagian dari proses perjalanan hidup yang harus kita hadapi. Ia menjadi bagian dari cara kehidupan mengajari kita untuk semakin dewasa menyikapi segala hal. Termasuk, ketika kita mencapai titik yang kita harapkan.
Dengan belajar dari luka, kita akan sadar, bahwa untuk sampai pada titik yang diharapkan, kita mesti menghadapi proses yang boleh jadi sangat menyakitkan. Makanya, saat mencapai titik itu pun kita tak perlu terlalu berlebihan dalam mengekspresikan kegembiraan yang kita rasakan. Secukupnya saja. Yang penting kita bahagia. Happy!
Meski begitu, ada satu syarat yang mesti dipenuhi. Yaitu, semangat pantang menyerah! Ya, sedalam apapun luka yang kita alami, mestinya tidak membuat kita takut. Sebaliknya, luka itu mesti kita obati, kita sembuhkan.
BACA JUGA: Apa Iya, Perjodohan adalah Jalan Terbaik?
Ambillah contoh, ketika di wajah kita terdapat koreng. Kira-kira, apa mau kita biarkan? Tentu tidak. Kita pasti akan berupaya menemukan obat dan kesembuhan. Sebab, jika koreng itu dibiarkan bisa saja makin parah dan membuat kita jadi malu sendiri.
Dengan kata lain, ketika kita membiarkan luka yang kita alami itu makin parah, maka sesungguhnya penghargaan atas diri kita sendiri dan atas apapun yang kita capai sebenarnya sangat rendah. Malah, boleh diduga tidak ada sama sekali.
Lalu, bagaimana cara menyembuhkan luka? Seperti halnya menyembuhkan koreng pada wajah kita, mula-mula kita mesti jujur dan bersikap terbuka. Artinya, menerima kenyataan dengan sikap yang jujur bahwa pada wajah kita ada luka yang membusuk.
Dengan sikap menerima itu kita kemudian mesti jujur pula tentang apa penyebabnya. Dengan demikian, kita akan tahu formula apa yang tepat untuk menyembuhkan luka itu. Dan seberapa dosisnya.
Kalau kita tidak tahu formula yang pas sebagai obat, boleh saja kita meminta bantuan orang lain yang tentunya lebih tahu. Di hadapan orang itu, kita juga mesti jujur mengakui bahwa luka yang ada pada wajah kita itu disebabkan oleh sesuatu yang barangkali adalah kesalahan kita. Cara ini tentu sedikit membuat lega, karena kita mau jujur.
BACA JUGA: Perempuan Itu Tidak Seharusnya Menjadi Pelayan atau Diperlakukan Seperti Pelayan
Sikap jujur dan mau menerima kenyataan ini tentu akan memudahkan orang yang kita percaya itu menemukan formula yang tepat sebagai obat. Sehingga, ketika ia memberikan resep pun tak keliru. Dosisnya juga tak berlebihan.
Meski begitu, tidak ada obat yang sekali oles atau sekali minum bisa menyembuhkan total. Makanya, perlu pula kita bersabar sambil terus berupaya mengobati luka itu. Kita juga perlu menikmati proses penyembuhan itu dengan saksama.
Nah, dari analogi kecil ini dapat kita pahami sekarang, bahwa perasaan terluka akan sembuh jika kita mau terbuka. Artinya, kita mesti jujur mengakui kesalahan itu, menerima kenyataan yang kita alami, bersabar dan pantang menyerah untuk terus bangkit dan bersemangat. Luka, mau tak mau adalah bagian dari kehidupan yang tak mungkin kita hindari. Dan kebahagiaan, sesungguhnya adalah buah dari kesanggupan kita untuk menerima luka sebagai anugerah.