KOTOMONO.CO – Sumber pengetahuan utama adalah pengalaman. Kalimat pendek itu dikutip dari seorang introvert yang jenius, Albert Einstein. Fisikawan penemu teori relativitas ini sempat bikin kepala para profesor sedunia geleng-geleng sambil berdecak kagum. Mereka nggak nyangka, seorang introvert sejati kok bisa ya dikenal dan dikagumi oleh masyarakat dunia?
Bahkan, fisikawan Jerman satu ini nggak menampik keintrovertannya itu. Dia malah menganggap sikap introvert itu adalah bagian dari caranya meraih keberhasilan. Semacam pemicu bagi dirinya untuk bisa terbang dan meraih bintang.
Nah, ngomongin soal sosok introvert, Pekalongan juga punya kisah tokoh besar yang introvert. Sejak kanak-kanak, tokoh ini sulit beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman sepermainannya. Bahkan, boleh dibilang lebih suka menyendiri dan cenderung tertutup. Sampai-sampai tidak ada yang mengetahui apa yang diinginkannya. Tidak terkecuali orang tuanya, Tarab dan Takumi.
Mereka kelimpungan dengan sikap anak semata wayangnya itu. Sampai-sampai cemas, kalau-kalau sikap introvert itu bertahan sampai dewasa. Apa jadinya nanti?
Benar saja, sikap introvert itu tak pernah lepas dari kepribadiannya. Orang-orang di sekelilingnya menganggap ia sebagai sosok misterius. Sukar ditebak apa maunya.
BACA JUGA : Jejak Perjuangan Otto Iskandardinata di Pekalongan (1924 – 1928)
Meski begitu, kedua orang tuanya nggak tinggal diam. Susah payah mereka berusaha mengubah sikap itu. Setiap kesempatan, ia selalu diajak untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Juga didorong agar mau membuka diri dan bergaul dengan orang-orang yang ditemuinya. Tapi, usaha mereka tak cukup berhasil.
Sampai pada suatu ketika, mereka berpikir untuk menjodohkannya dengan seorang gadis kembang desa. Siapa tahu, dengan begitu ia bisa berubah. Sebab, ia tak lagi hidup sendirian. Tetapi ada teman hidup yang sepanjang waktu butuh diajak ngobrol.
Rupanya rencana mereka cukup berhasil. Anak semata wayang mereka bersedia menerima perjodohan itu. Legalah hati kedua orang tua beliau. Terhapuslah rasa cemas mereka. Plong!
Tanpa nunggu lama, mereka pun melangsungkan pernikahan untuk anak laki-laki semata wayangnya. Orang-orang kampung mengiringi perjalanan sang pengantin menuju rumah sang mempelai putri. Berarak-arakan, mereka membawa buah tangan. Sampai di rumah mempelai putri, prosesi pernikahan itu berlangsung demikian khikmad hingga selesai.
Selepas upacara pernikahan, orang-orang kampung pulang berombongan. Tetapi, ada yang membuat mereka geleng-geleng keheranan. Di antara barisan orang-orang kampung itu, tampak mempelai pria turut serta dalam rombongan. Ia ikut pulang bersama warga kampungnya. Pulang ke rumah asalnya.
Sudah tentu, orang tuanya terheran-heran campur kecewa dengan sikap anak laki-laki satu-satunya itu. Mereka pun menyidangnya. Menanyakan apa sebenarnya yang menjadi keinginan dari anak ontang-antingnya itu.
BACA JUGA : Mubarak Kelip, Si Cabe Rawit Andalan Timnas Indonesia
Rupanya, anak laki-laki yang sangat tertutup itu punya keinginan yang sama sekali berbeda dengan apa yang dibayangkan kedua orang tuanya. Sudah lama ia memendam keinginan itu. Tidak mengatakannya pada kedua orang tuanya. Jadi, wajar jika kedua orang tuanya tak memahami apa kemauannya.
Di hadapan kedua orang tuanya, ia mengaku kalau sesungguhnya ia sangat ingin memperdalam ilmu agama. Ia ingin nyantri. Dengan ilmu agama itu, ia sangat berharap dapat mengabdikan diri kepada masyarakat.
Mengetahui keinginan anaknya itu, mula-mula kedua orang tuanya agak keberatan. Tetapi, mereka juga tak bisa melarang. Lantas dengan mempertimbangkan baik-buruknya, kedua orang tua sang introvert ini pun mengizinkannya pergi belajar ke pondok pesantren. Mereka berharap, barangkali jalan yang dipilih anaknya itu akan membawa perubahan.
Semangat yang membuncah dan restu orang tuanya meringankan langkahnya merantau. Ia pun menuju pondok pesantren yang selama ini diidamkannya di Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Diterimalah ia menjadi murid Kiai Munir.
Selama mondok, kira-kira 5 tahun lamanya, ia menekuni ilmu agama. Namun, di tengah-tengah berjalannya waktu, wabah gatal-gatal menjangkiti para santri. Saat itu, pengasuh pondok memerintahkan seluruh santri untuk mandi di sendang yang airnya hangat.
BACA JUGA : Gubernur Kalteng Pertama itu Ternyata Wong Kalongan
Semua santri nurut. Semua mandi di sendang itu. Tetapi, santri yang introvert ini tidak. Ia hanya di bibir sendang. Duduk-duduk sambil menyaksikan santri-santri lain mandi. Melihat ia asyik di bibir sendang, terbesit dalam benak santri-santri lain untuk mengerjainya.
Dari arah belakang, ia didorong sekuat-kuatnya agar tubuhnya tercebur ke dalam sendang. Benar saja, karena dalam keadaan lengah, tubuhnya mudah digoyahkan. Ia pun tercebur ke dalam sendang. Santri-santri lain bersorak girang. Tetapi, suara sorakan itu lambat laun meredup. Tubuh santri introvert itu lama tak muncul ke permukaan.
Semua panik. Para santri akhirnya sibuk mencari bergantian. Mereka menyelam berusaha menemukan tubuhnya. Tetapi, tak ditemukan. Lalu, dikuraslah sendang hingga kering. Tubuh santri introvert itu hilang. Tak satu pun jejak menjadi petunjuk bagaimana hilangnya tubuh itu. Semua terheran.
Oleh rasa tanggung jawab, pengasuh pondok kemudian menyampaikan kabar hilangnya santri introvert itu kepada keluarga. Kedua orang tuanya kaget bercampur heran. Kabar itu benar-benar membuat orang tuanya merasa sangat kehilangan. Maka, kedua orang tua santri introvert itu hanya bisa pasrah menerima kenyataan. Mereka hanya bisa mendoakan untuk keselamatan anaknya.
Dalam keyakinan mereka, anaknya masih hidup. Maka, segala harapan tentang anaknya itu menjadi doa. Namun, lambat laun harapan itu kian menipis. Tahun-tahun yang dilalui tak menunjukkan tanda-tanda akan kabar baik yang mereka harapkan. Mereka merasa telah kehilangan harapan itu. Dihapuslah nama anaknya dari ingatan, agar tak meninggalkan kedukaan yang semakin menjadi.
BACA JUGA : Hoo Tong Koey, Letnan Tionghoa yang Suka Seni Karawitan
Pada suatu malam, seseorang mengetuk pintu rumah mereka. Heran bertaut cemas, mereka curiga, seseorang di luar sana punya niat buruk. Mereka hanya berdiam di dalam rumah sambil mengawasi apa yang akan terjadi. Tetapi, ketukan itu tak berhenti juga. Sampai pada akhirnya pengetuk pintu itu membuka suara. Ia memanggil nama mereka.
Betapa terkejutnya mereka kala itu. Suara yang didengar itu sangat mereka kenal. Suara itu seperti suara anak mereka. Meski begitu, mereka tak langsung percaya. Sebab, dalam benak mereka, anak mereka telah tiada. Mana mungkin hidup kembali.
Suara pengetuk pintu itu kembali menyebut nama mereka. Lantas ia menyebut namanya sendiri. Barulah dua orang di dalam rumah itu percaya. Tanpa ragu-ragu, bergegas mereka membuka pintu rumah. Dan alangkah mengharu birunya mereka melihat anaknya berdiri di ambang pintu. Tetapi, ada yang tak biasa pada anak mereka. Busana yang dikenakannya tak wajarnya dipakai orang-orang. Tubuh lelaki introvert itu hanya terbungkus akar-akar pohon yang dianyam. Wajahnya juga berubah. Tumbuh jenggot dan rambutnya pun panjang terurai.
Tak ingin dilihat orang-orang kampung, segera mereka menarik anaknya itu ke dalam rumah. Segera pula dibawakan pakaian untuk dikenakan. Diberinya ia makanan.
Selepas makan, kedua orang tuanya meminta ia bercerita. Apa yang terjadi pada diri anaknya itu. Ternyata, saat ia hilang di sendang tempo hari, ia dibawa ke sebuah gua. Di gua itu, ia tinggal untuk beberapa lama. Ia berteman dengan binatang-binatang hutan yang liar. Yang ia makan juga seadanya. Biasanya petai cina (mlanding) dan bunga pohon jati (janggleng).
BACA JUGA : Kisah KH. Abdul Gaffar Ismail di Pekalongan
Esok harinya, orang-orang kampung berbondong-bondong mendatangi rumah. Mereka heran dengan kabar itu. Mereka ingin memastikan bahwa kabar itu benar. Sontak, rumah Tarab dan Takumi pun menjadi ramai disesaki orang-orang kampung.
Menyaksikan ramainya orang berdatangan, ia lantas lari keluar rumah. Ia tak ingin orang-orang terlalu banyak menanyakan hal-hal yang ia sendiri tidak tahu bagaimana awalnya. Kalaupun ia berikan jawaban kepada orang-orang, itu justru akan membuat orang semakin bingung. Atau, bisa jadi akan membuat orang-orang menjadi salah sangka. Pikiran mereka jadi macam-macam.
Lantas, ketika ia menemukan pohon kelapa, ia segera memanjatnya. Sejak saat itu pula, ia tidak lagi tinggal di rumah orang tuanya. Ia memilih tinggal di atas pohon kelapa. Semula, orang tuanya meminta untuk turun dan tinggal bersama mereka di rumah. Tapi ajakan itu tak diindahkannya.
Kabar menghebohkan tentang kepulangan santri introvert ke rumahnya tersiar sampai pengasuh pondok pesantren. Kabar itu memaksa pengasuh pondok dan sejumlah santri mendatangi rumah santri introvert itu. Mereka pun terkejut melihat pemandangan yang tak biasa itu. Santri introvert itu tinggal di atas pohon kelapa. Ia duduk di atas daun kelapa.
Setahun sejak ia tinggal di atas pohon kelapa itu, tiba-tiba ia turun dari pohon itu atas kemauannya sendiri. Dengan menaiki sebatang pelepah kelapa kering, ia turun. Seperti naik lift. Meski begitu, ia tidak tinggal di dalam rumah. Hanya di samping pohon kelapa itu. Dan pelepah kelapa kering itulah yang kemudian ia gunakan sebagai alas untuk duduk dan tidur.
Melihat keadaannya yang demikian, keluarganya lantas membangunkan gubuk di tempat ia tinggal. Sekadar tempat untuk meneduhinya dari hujan dan panas. Tetapi, ia tak sejangkah pun bergeser. Ia tetap berada di tempat huninya itu.
Memang, jika dinalar, tak ketemu nalar. Kemampuan sang introvert ini tak biasa. Bahkan, lewat tuturan warga sekitar, tokoh yang satu ini juga terlibat dalam usaha melawan penjajahan di masa Kolonial. Tempat huniannya juga sempat dijadikan persembunyian para pejuang dari kejaran tentara Belanda. Mula-mula tentara Kompeni ini tidak pernah mengetahui tempat itu. Hingga suatu saat, mereka akhirnya berhasil mengetahui tempat persembunyian itu.
Sepasukan tentara berbendera merah-putih-biru lantas mengepung tempat itu. Senjata laras panjang dan sejumlah meriam dibawa serta. Tempat persembunyian itu lantas dihujani peluru dan meriam. Anehnya, serangan itu ditangkis dan dihalau hanya dengan menggunakan perisai yang terbuat dari tampah anyaman bambu.
BACA JUGA : Profesor Linguistik Dunia Asal Pekalongan
Tak habis pikir, tentara Kompeni itu pun cuma geleng-geleng kepala. Mereka lantas menarik diri karena jika dipaksakan untuk terus menggempur, mereka akan kehilangan banyak nyawa. Segera mereka balik kanan dan pulang ke markas mereka.
Begitulah. Kisah tokoh introvert yang kemudian dikenal namanya sebagai Wali Gendon ini. Nama Gendon sendiri terambil dari bahasa Jawa, yang artinya ulat putih yang biasanya tinggal di pohon kelapa. Kerap disebut pula sebagai hama pohon kelapa. Maka, nama Gendon, barangkali saja terambil dari kebiasaan sosok yang nama aslinya Mohammad Arshal ini yang tinggal di atas pohon kelapa.
Lalu, siapakah dia? Menurut sumber informasi yang didapat, ia adalah salah seorang tokoh ulama Kabupaten Pekalongan, kelahiran Desa Kesesi. Diperkirakan, masa hayat beliau antara tahun 1868 – 1960.
Karena jasanya dalam penyebaran agama Islam, setiap tahun, warga sekitar selalu menyelenggarakan khaul untuk mengenang ketokohan beliau yang fenomenal. Biasanya setiap hari Ahad Legi, setiap bulan Jumadil Awal. Saat itu, ribuan orang datang memadati acara tersebut. Makamnya juga tak luput dari para peziarah yang datang dari berbagai kota.