KOTOMONO.CO – Kelurahan Sugih Waras salah satu Kelurahan yang berada di wilayah Pekalongan Timur sebelum adanya merger kelurahan pada tahun 2014. Setelahnya Sugih Waras menjadi bagian dari Kelurahan Kauman .
Sugih Waras memiliki beberapa kampung yang memiliki cerita tersendiri yang cukup menarik untuk menambah khasanah wawasan sejarah kampung kita sendiri. Jika belum tahu asal-usulnya Kelurahan Sugihwaras bisa dibaca di Sejarah Asal-usul Kelurahan Sugihwaras.
Sejarah Nama Tempat di Sugihwaras
1. Banjarsih
Menyebut kata banjar maka yang terbersit dalam benak kita adalah suku Banjar yang berada di Kalimantan. Hal ini bisa saja terjadi karena perdagangan yang terjadi di Pekalongan tidak hanya bersifat lokal namun juga bersifat nasional bahkan internasional. Hal ini ini dibuktikan adanya unsur etnis Tionghwa, Arab, Bugis, Madura, Sumbawa dan lainnya.
Oleh karenanya salah satu penyebab keberadaan orang Banjar yang tinggal di Pekalongan adalah akibat hubungan perniagaan dan cerita sejarah klasih panglima perang Mataram Tumengguna Bahurekso yang prajuritnya berasal dari seluruh penjuru nusantara dan salah satunya adalah kelompok pasukan dari Banjar.
Baca juga : Sejarah Dan Asal-usul Nama Tempat di Krapyak Lor
Dari pengertian bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai jajar atau deret. Dalam pengertian lain banjar dapat diartikan sebagai kelompok, barisan atau dikumpulkan menjadi satu dengan diikat (bouquette). Orang jawa lebih sering menyebutnya dengan banjaran. Kata-kata ini masih sering digunakan oleh para petani di pedalaman.
Sebutan kata banjar dimungkinkan karena pada waktu itu wilayah Banjarsih dan Banjarsari (wilayah Kelurahan Sampangan) ini memiliki keteraturan dalam lingkungan masyarakat. Hal ini dapat dilihat bagaimana struktur perkampungan di wilayah ini lebih teratur dan lebih rapi bila dibandingkan dengan kampung pribumi lainnya. Peran pemerintah kolonial sangat terasa dalam mengatur lingkungan disini. Rumah orang Arab ditata bederet dengan wilayah tertentu.
Begitu pula dengan penduduk etnis Cina dan pribumi pendatang yang melaksanakan perniagaan. Penduduk pribumi asli justru sedikit yang bertempat di daerah ini dan penempatannya berada ditengah dengan dikelilingi deretan penduduk timur asing. Pengaturan penduduk berdasarkan ras ini adalah karakteristik pemerintah Belanda yang menerapkan politik apartheid yaitu memberikan perbedaan kasta berdasarkan ras.
Penempatan ras asing disekitar tempat ini adalah dengan pertimbangan adanya benteng diseberang kali Pekalongan sehingga pengawasan terhadap mereka menjadi mudah. Disamping itu kedua ras ini mendapatkan prioritas dari pemerintah kolonial sehingga apabila mereka melawan maka dengan mudah diusir dari wilayah tersebut dan berhadapan langsung dengan pribumi.
Baca juga : Sejarah Dan Asal-usul Nama Tempat di Krapyak Kidul
Disamping itu pihak pemerintah kolonial juga mendapatkan manfaat karena mereka dapat digunakan sebagai “pertahanan” jika sewaktu-waktu ada perlawanan dari pihak pribumi yang dipimpin oleh penguasa pribumi dalam hal ini adalah Bupati Pekalongan. Kita ketahui bersama bahwa bangsa Arab dan Cina adalah bangsa ulet dan tekun dalam berniaga.
Kehidupan mereka sebagai pedagang mengakibatkan struktur ekonomi mereka lebih tinggi bila dibandingkan dengan pribumi yang bermatapencaharian sebagai petani ataupun nelayan. Wilayah inilah yang dikenal sengan sebutan kampung Banjarsih.
Kata Banjarsih memiliki makna yang hampir sama dengan Banjarsari. Imbuhan sih menunjukkan bahwa tempat/banjar ini mendapatkan kasih atau perhatian. Artinya banjar yang dapat menarik perhatian. Wilayah Banjarsih berada didepan pasar Banjarsari.
2. Cowekan/Pecowekan

Kampung ini terletak disebelah timur dari wilayah Sugih Waras tepatnya dibelakang kantor Eks Kelurahan Sugihwaras. Pecowekan berasal dari kata Cowek yang mendapatkan imbuhan pe-an. Cowek adalah alat yang dipergunakan untuk menghaluskan bumbu ataupun membuat sambal yang berbahan batu ataupun tanah liat yang dibakar seperti gerabah. Cowek yang dibuat di wilayah ini sebagian besar terbuat dari tanah liat.
Baca juga : Sejarah Asal-Usul Tauto Pekalongan
Sebenarny a yang dijual tidak hanya cowek tetapi juga periuk dan bahan gerabah lainnya. Hal ini mungkin dihubungkan dengan permintaan para pedagang di pasar karena pada masa itu kebutuhan memasak masih menggunakan peralatan tradisional. Tidak menutup kemungkinan pula para nelayan yang pada waktu itu berlabuh di pelabuhan hilir membutuhkannya tuntuk dibawa berlayar.
3. Derpowangsan
Menyebut kata derpowangsan seperti pada umumnya daerah di Jawa menunjukkan bahwa tempat tersebut merupakan wilayah yang dikuasai seseorang yang bernama Derpowongso. Nama Derpowongso adalah nama tua atau nama gelar yang diberikan oleh penguasa.
Derpowangsan memang suatu wilayah yang berada di sekitar makam mbah Derpowongso. Beliau diperkirakan adalah seorang prajurit dari Pangeran Diponegoro yang tidak kembali lagi ke daerah asal namun menetap di Pekalongan
4. Kampung Arab
Sebagaimana namanya, Kampung Arab dihuni oleh masyarakat keturunan Arab. Kesuksesan perniagaan dan berkembangnya syiar Islam pada masa itu membuat banyak warga Arab yang memilih tinggal di Pekalongan. Mereka dapat diterima dengan baik oleh penguasa baik oleh penguasa pribumi maupun penguasa kolonial.

Hampir disetiap kota besar ataupun kota-kota di daerah pesisir memiliki kampung Arab. Salah satu yang unik adalah mereka senantiasa tinggal disekitar masjid besar, karena sebagian besar mereka muslim dan taat beribadah sehingga menempatkan masjid sebagai unsur utama dalam kehidupan mereka.
Baca juga : Sejarah Masjid Wakaf Pekalongan
Hal ini agak berbeda dengan di Pekalongan. Kampung Arab terletak agak jauh dari masjid besar. Nampak bahwa pemilihan lokasi ini disebabkan oleh karena lokasi pasar sebagai tempat perniagaan cukup jauh dari masjid besar atau memang sengaja ditempatkan disana oleh penguasa dengan maksud tertentu. Di sini juga terdapat masjid yang besar yang dibuat oleh masyarakat Arab yang diberi nama masjid Wakaf.
Sekilas hampir tak nampak perbedaan dengan masjid masjid di kota-kota lainnya. Namun terdapat keunikan dari masjid ini yaitu tidak dipergunakan untuk sholat Jumat. Menurut informasi kebijakan tidak menggunakan masjid ini untuk sholat Jumat adalah sebagai wujud penghargaan kepada masjid Jami Kauman Pekalongan yang merupakan masjid resmi milik penguasa pribumi.
Hal ini menunjukkan adanya sikap yang sangat bijaksana antara pemerintah pribumi dengan masyarakat arab walaupun mereka memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi dibanding pribumi.
5. Kampung Abraham
Menilik dari kata Abraham ini menunjukkan sedikit keanehan karena di daerah yang rata-rata penduduknya muslim tentu sangat tidak lazim mengucap kata tersebut. Abraham adalah sebutan orang-orang Eropa untuk menyebut kata Ibrahim. Perbedaan dialek ini menjadi menarik apabila dapat kita telusuri asal muasalnya.
Baca juga : Sejarah Asal-usul Kuliner Pindang Tetel Pekalongan
Dari beberapa informasi, kata Abraham berasal dari nama seorang penjual roti beragama Yahudi yang berjualan di mulut gang. Roti jualannya sangat laris hingga pembelinya dari banyak kalangan, baik pribumi maupun orang asing. Karena berjualan di mulut gang, maka penduduk kampung yang berada didalamnya menjadikan nama abraham sebagai penanda (ancer-ancer (jawa). Lambat laun orang mengenal kampung di gang tersebut dengan sebutan kampung Abraham.
6. Pedalangan
Menyebut kata pedalangan dapat disimpulkan bahwa kata dasarnya adalah dalang yang berarti orang yang menjalankan wayang kulit atau orang yang mengatur jalannya suatu cerita pewayangan ataupun ketoprak. Dalang dalam bahasa jawa juga merupakan akronim (jarwo dosok (singkatan bebas)) dari kata ngudal pawulang yang berarti memberi pengajaran.
Sehingga yang diberikan oleh adalang berupa petuah, petunjuk atau contoh- contoh akan perilaku. Kini orang lebih sering menyamakan dalang dengan sutradara karena sama sama mengatur laku dalam setiap adegan drama. Pedalangan menunjukkan suatu lokasi yang menjadi tempat tinggal atau keberadaan dalang.
Baca juga : Sejarah Desa Karangdowo – Kab. Pekalongan
Dari beberapa narasumber maupun literasi, diceritakan bahwa di kampung ini dulu pernah ada seorang dalang yang sangat masyhur di wilayah Pekalongan. Dalam setiap tempilannya selalu mendapatkan banyak penonton. Diceritakan pula bahwa dalang tersebut memiliki kemampun linuwih untuk dimintai pertolongan.
7. Kepatihan
Patih merupakan julukan kepada pejabat yang menangani administrasi dalam suatu pemerintahan pada masa kerajaan. Kini jabatan patih dapat disejajarkan dengan wakil bupati ataupun seorang sekretaris daerah. Sampai dengan tahun 1950 an, jabatan sekretaris daerah masih disebut dengan patih.
Kepatihan merupakan tempat patih tersebut tinggal ataupun tempatnya menjalankan tugas. Terakhir rumah patih atau kepatihan terletak disebelah timur alun-alun Pekalongan. Ada yang menyebutkan bahwa dulu rumah patih berada disebelah utara alun-alun didekat rumah gadai.
Bahkan jalan Hayam Wuruk disebelah timur jembatan sampai dengan berbelok di sekitar jalan Wahid Hasyim dulu bernama jalan Kepatihan. Sebagai sebuah jabatan yang tinggi, maka masyarakat menjadikannya sebagai ikon penanda suatu wilayah. Oleh karenanya masyarakat yang tinggal di sekitar rumah patih disebut dengan masyarakat kepatihan.
8. Penawangan
Penawangan dalam bahasa Jawa berasal dari kata dasar tawang atau sering juga dikatakan dengan trawang. Kata tawang bermakna langit, memandang pada jarak yang jauh atau memandang dengan sungguh-sungguh. Adapun trawang lebih difokuskan untuk mencari lubang atau perbedaan dengan bantuan sinar atau cahaya.
Baca juga : Sejarah Batik Pekalongan
Perubahan fonetik dari tawang menjadi nawang adalah untuk menyangatkan atau lebih menekankan terhadap suatu tindakan sehingga membedakannya dari kata tawang sebagai kata benda dengan kata tawang sebagai kata kerja.
Kampung ini terletak di dekat Kepatihan dan Pedalangan yang kemungkinan sering terdapat tanggapan wayang.
Cerita wayang yang sarat dengan pitutur atau petuah luhur yang menggambarkan kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik.
Untuk mendapatkan manfaat dari cerita wayang tersebut diperlukan penawangan, atau perhatian yang sungguh-sungguh agar dapat memahami benar nilai-nilai yang disampaikan oleh dalang untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
9. Ngabangan
Ngabangan berasal dari kata abang dalam bahasa Jawa yang berarti merah. Sebutan kata abang ini ada berbagai pendapat. Ada yang mengungkapkan bahwa abangan merupakan masyarakat Jawa yang telah memeluk agama Islam namun masih sangat kental dalam menjalankan ritual ajaran leluhurnya yang dikenal dengan kejawen.
Banyak yang menyebut bahwa ajaran seperti ini adalah pengikut dari Syeh Siti Jenar (Syeh Lemah Abang) yang pada masa kerajaan Demak berselisih faham dengan Wali Songo. Keberadaan kampung ini berada didekat diantara masyarakat Arab yang sudah dipastikan tidak bersentuhan dengan budaya Jawa.
Baca juga : Sejarah Batik Jlamprang Motif Khas Kota Pekalongan
Dimasa lalu di beberapa daerah diluar Pekalongan ada yang menyebut dengan Islam Putihan karena dianggap menjalankan ajaran dengan murni tidak ada sinkretisme dengan kejawen. Oleh karenanya masyarakat yang masih melaksanakan ajaran kejawen disebut dengan abangan atau baru sekedar mengikuti karena pengetahuannya masih terbatas. Untuk memudahkan penyebutan kata sekaligus sebagai penanda tempat maka lebih dikenal dengan Ngabangan.
10. Dombenggalan
Merunut kata dombenggalan dari bahasa aslinya memang agak susah. Ada beberapa kata dasar dalam bahasa Jawa yang memungkinkan munculnya kata tersebut diantaranya menggolo (manggala), begal/benggal dan benggol.
Menggolo berasal dari kata manggolo yang berarti komandan. Disekitar jalan Hasanuddin sekarang, di masa yang lampau ada perwira berpangkat kapiten sehingga rumahnya disebut dengan kapitenan. Dapat dimengerti bahwa bila dengan pangkat tersebut maka mereka adalah menggolo atau komandan.
Keberadaan para komandan inilah yang akhirnya menjadi ungkapan “podo menggolo” (para komandan). Sesuai kebiasaan maka dipersingkat menjadi do menggolo. Adapun wilayahnya disebut dengan domenggalan. Jalan Hasanuddin adalah jalan utama menuju ke pasar. Setiap pedagang dapat dipastikan membawa dagangannya melewati jalan ini.
Pada masa lalu pedagang yang membawa barang untuk dijual sering bertemu dengan begal/benggal. Begal ini tidak berkonotasi sepenuhnya negatif. Pengertian begal adalah orang yang mengalihkan arah utama menuju ke arah yang ia inginkan.
Membegal dapat diartikan sebagai membajak contohnya membajak pesawat terbang. Mbegal banyu (membegal air) adalah tindakan mengalihkan air dari saluran yang sebenarnya untuk diambil sebagian atau seluruhnya sebelum sampai ke tempat yang semestinya dan sebagainya. Membegal disini adalah mbegal adol artinya mengalihkan penjualan.
Baca juga : Riwayat Sejarah Menara Air PDAM Pekalongan
Seorang pedagang dicegat untuk bertransaksi sebelum sampai di pasar. Kedua pihak dapat bertransaksi tanpa tekanan dan tanpa merugikan salah satu pihak. Pihak pembegal berharap atas harga yang lebih murah dari harga didalam pasar sehingga mereka dapat menjual barang yang dibelinya didalam pasar dengan harga yang sedikit lebih tinggi, sedangkan pedagang yang dibeli barangnya tidak terlalu kesulitan menawarkan barang yang akan dijualnya.
Benggol dapat diartikan sebagai jagoan atau tukang pukul. Mengingat wilayah ini dekat dengan keplekan (daerah tempat berjudi) maka tidak menutup kemungkinan banyak jagoan yang berada di sekitar tempat tersebut.
Ada pendapat yang mengungkapkan bahwa Dombenggalan berasal dari kata domino sebagai sarana untuk berjudi dan dugal (jengkel), karena masyarakat disekitarnya merasa jengkel akibat perjudian.
Kontributor : Agung Tjahjana