KOTOMONO.CO – Entah, apakah gelar Pahlawan Nasional itu masih penting atau tidak, pengusulan tokoh perfilman nasional, Usmar Ismail, agar mendapatkan gelar Pahlawan Nasional sepertinya kurang mendapatkan sorotan publik. Padahal, usulan itu sudah muncul sejak tiga tahun silam, ketika Jusuf Kalla masih menikmati kursi empuknya di kantor Wakil Presiden.
Ketika itu, bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ketua Bidang Kerja Sama Antar Lembaga Persatuan Karyawan Film dan Televisi Indonesia, Embi C Noer, JK sempat membicarakan usulan itu. Sayang, tahun itu belum menjadi tahun keberuntungan bagi insan perfilman Indonesia untuk memiliki tokoh Pahlawan Nasional. Padahal, usulan itu sudah disampaikan setahun sebelumnya, yaitu tahun 2017.
Tahun ini, usulan itu kembali menyeruak ke permukaan. Kali ini, giliran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaanlah yang ambil bagian. Lewat Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kemendikbud, Ahmad Mahendra, lembaga yang dipimpin Nadiem Makarim ini menyatakan dukungannya atas usulan yang dipelopori Ketua Sinematek, Akhlis Suryapati. Kata berita, semua berkas sudah disampaikan pada Presiden, tinggal nunggu ditandatangani.
Oleh salah seorang putra tokoh perfilman nasional itu, Heidy Ismail, usulan itu disambutnya dengan hangat. Ia berharap, ketokohan ayahnya bisa menjadi inspirasi bagi generasi masa kini dan generasi masa depan.
BACA JUGA: Mbah Gendon, Sosok Introvert yang Membuat Decak Kagum
Tapi, siapakah sesungguhnya Usmar Ismail? Selain dikenal sebagai Bapak Film Indonesia, ia juga dikenal sebagai pelopor drama modern Indonesia. Namun, awal kariernya dimulai dari perannya sebagai seorang penyair.
Semula, ia berkawan karib dengan penyair seangkatannya, seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, Idrus, Rivai Apin, juga Pramoedya Ananta Toer. Mereka kemudian dimasukkan ke dalam penyair Angkatan ’45.
Melalui kepenyairannya, Usmar Ismail melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda yang kala itu kian mencengkeram. Perlawanan itu terutama dilakukan melalui naskah drama Mutiara dari Nusa Laut (1943). Sayang, akibat sensor yang ketat oleh pemerintahan pendudukan Jepang pesan perjuangan melawan penjajahan tidak tersampaikan dengan gamblang. Apalagi, di dalamnya, termuat pula pesan tentang peran perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Di lain sisi, kedudukannya sebagai Wakil Kepala Bagian Drama Pusat Kebudayaan bentukan Jepang juga membuat geraknya terbatas. Seperti dalam catatan Goenawan Mohamad yang dibacakan saat mengenang Chairil Anwar (2017 silam), Pusat Kebudayaan yang didirikan Pemerintah Pendudukan Jepang mau tidak mau membelenggu para seniman Indonesia kala itu. Mereka tidak bisa tidak, harus mengikuti arahan Jepang yang menghendaki agar para seniman itu menjadi corong propaganda Jepang kala itu.
Meski begitu, oleh Rosihan Anwar, salah seorang tokoh pendiri LESBUMI ini dipandang sebagai tokoh yang idealis. Rosihan Anwar yang pernah menjadi aktor dalam panggung drama garapan Usmar Ismail merasakan betul pandangan idealisnya. Usmar di matanya adalah seorang yang begitu cermat memperhatikan setiap detil. Tetapi, ia tidak terlalu banyak memberi arahan kepada pemain-pemainnya. Ia memberi kebebasan para aktornya untuk mengeksplorasi naskah dan permainannya di atas pentas.
BACA JUGA: Hoegeng, Sang Jenderal Sejati
Pun demikian dalam dunia perfilman. Saat ia digandeng Andjar Asmara untuk menggarap film-film produksi South Pacific Corporation milik Belanda di tahun 1949, ia sesungguhnya enggan. Sekalipun dalam satu tahun itu ia menyutradarai tiga judul film yaitu Harta Karun, Si Bachil, dan Tjitra, tak satupun judul itu yang membuat hatinya terkesan. Lalu, ia pun memilih keluar dari perusahaan film milik Belanda itu. Sebab, ia merasa daya kreasinya terkekang.
Apalagi ajakan itu awalnya dimulai dari penangkapan Belanda atas dirinya (1948). Ketika itu ia bertugas sebagai jurnalis yang meliput perundingan antara Belanda dan RI. Belanda tahu, Usmar adalah seorang mayor tentara. Namun, setelah ditangkap, Usmar dipekerjakan di studio film untuk membantu Andjar Asmara.
Sikap idealisnya itu juga ditunjukkan kepada seniman-seniman yang berafiliasi kiri. Memanasnya situasi politik pada era 60an, ia tak jarang menjadi sasaran empuk media-media yang berplat Palu Arit. Berbagai tulisan di media-media itu menyudutkan Usmar dengan tuduhan Usmar sebagai antek Amerika dan kontrarevolusioner. Padahal, yang ia lakukan justru sebaliknya. Masa-masa 1950an, ia justru orang yang gigih memperjuangkan gagasan melawan dominasi Amerika. Terutama film-filmnya agar tidak diputar di jaringan bioskop di Indonesia.
Untuk alasan itu, Usmar bersama dengan dua rekannya Asrul Sani dan Djamaludin Malik akhirnya merapat ke NU. Lalu, mereka bertiga mendirikan LESBUMI sebagai upaya mereka membendung gerakan seniman-seniman berplat Palu Arit itu. Langkah itu cukup efektif membungkam pandangan sentimentil seniman-seniman kiri.
BACA JUGA: Gubernur Kalteng Pertama itu Ternyata Wong Kalongan
Situasi itu, pada akhirnya membawa Usmar Ismail terseret ke dalam gelombang politik. Ia pun sempat menikmati kursi empuknya gedung DPR, sebagai wakil dari Partai NU. Sayang, di tengah perjalanan politiknya itu, ia dinilai oleh rekan separtai dan satu lembaganya telah melakukan kesalahan besar. Terutama, ketika ia akhirnya mendirikan Miraca Sky Club, sebuah restoran dan klub hiburan yang menjadi bagian dari Gedung Sarinah di Jalan Thamrin.
Terlebih saat ia menampilkan grup band perempuan telanjang dada “Ladybird”. Waktu itu, ia beralasan bahwa tindakannya sebagai upaya memajukan pariwisata Jakarta yang lesu. Namun, alasan itu tidak diterima banyak pihak, termasuk rekan-rekannya di tubuh LESBUMI dan Partai NU. Bahkan, ia dicoret dari keanggotaan dan keluar dari DPR-GR.
Selepas itu, perjalanannya untuk kembali ke dunia film menjadi semakin terasa sulit. Ia seperti merangkak-rangkak kembali, namun sulit mencapai ke rumah asalnya, dunia film. Ia merasa seperti ditinggalkan oleh rekan-rekannya sendiri di negerinya sendiri.
Ya, memang tidak bisa tidak. Di dunia ini tidak ada orang yang 100% baik. Selalu ada catatan kelam yang menjadi noktah hitam perjalanan hidupnya. Tetapi, bersikap bijak atas kekeliruan seseorang apalagi ia menyadari dan ingin kembali pada garis hidup yang dipilihnya saya kira menjadi sangat perlu dilakukan. Orang boleh saja benar, tetapi ia tidak bisa luput dari kesalahan.
Maka, dalam sikap bijak itu, sejumlah kolega dan para pengamat lainnya merasa perlu memberikan penghargaan atas apa yang dilakukan oleh sang maestro perfilman ini. Umar Kayam, tokoh sastra yang masyhur itu, menilai Usmar Ismail sebagai sineas yang sekaligus seorang intelektual, guru, dramawan, dan wartawan. Terlebih karya Usmar Ismail mengandung nilai seni yang dalam dan artistik, bahkan memuat pesan-pesan kehidupan. Itu terlihat dalam pemilihan masalah yang diungkapkan. Hingga kini pemilihan masalah itu masih dirasa aktual.
BACA JUGA: Profesor Linguistik Dunia Asal Pekalongan
Seirama Umar Kayam, Alex Leo Zulkarnaen menggelari Usmar Ismail sebagai manusia multidimensi. Pejuang, budayawan, wartawan, dan juga insan film. Pun pernyataan DH. Awaluddin Djamin, mantan Kapolri itu memandang Usmar sebagai orang yang bersahaja. Ia tidak pilah-pilih aktor saat produksi film. Untuk pemeran petani, ia memilih petani. Sementara, Misbah Yusa Biran menggarisbawahi, kita harus kembali pada cita-cita Usmar Ismail. Melanjutkan perjuangannya untuk menegakkan film Indonesia.
Usmar Ismail, dilahirkan di Bukittinggi, Sumatra Barat, 20 Maret 1921 dan meninggal pada tanggal 2 Januari 1971 di Jakarta. Karyanya mengabadi. Menjadi pelajaran penting bagi insan perfilman Indonesia. Dan jalan hidupnya, menjadi pelajaran penting bagi siapa pun di dalam menemukan kebijaksanaan.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya