Mayday mayday mayday
KOTOMONO.CO – Hujan hampir setiap malam beberapa hari lalu yakni pada 19-20 Januari 2022, wajar jika warga Pekalongan dan sekitarnya lap-lapan. Bahkan, kata mayday menjadi seolah-olah wajib diteriakkan.
Bagaimana tidak, selama beberapa hari itu sungai-sungai di beberapa wilayah tampak seperti sedang ngamuk. Permukaannya meninggi. Arusnya pun sangat deras. Seakan-akan ia siap menerjang apa saja yang dilaluinya. Warnanya juga keruh kecokelatan.
Kengerian ini dimulai pada Selasa sore. Diawali dari sebaran video lubernya sungai di Sokokembang yang notabene berada di dataran tinggi via media sosial. Disusul unggahan-unggahan video luapan air di Lolong, Doro, Kedungwuni dan Wonopringgo pada Rabu petang.
Lihat postingan ini di Instagram
Kalau hujan terus yang banjir itu daerah Panjang, Pasirsari, Karangjompo, Wonokerto, Krapyak sepertinya sudah “lumrah”. Lah ini daerah selatan (hulu) yang kebanjiran, gimana nasib daerah utara (hilir) tuh? Yang jelas tidak bisa menghindari nggrojognya air tersebut.
BACA JUGA: Pentingnya Hubungan Tanpa Birahi dalam Dunia Pacaran yang Harus Laki-laki Tahu!
Sudah pasti, kejadian-kejadian itu memancing warga net berkomentar di akun media sosialnya masing-masing. Seperti yang selalu saya pantau dari tahun ke tahun, komentar warga banyak menyoroti soal penyebab banjir yang sudah menjadi semacam langganan tahunan, serta apa dan siapa yang patut harus disalahkan. Saya mencoba membuat semacam uraian mengenai komentar-komentar yang kerap dilayangkan di media sosial itu.
1. Tanggul Sungai
Pertama, sosok benda mati ini kerap dituding sebagai penyebab terjadinya banjir. Tak hanya warga biasa, ada juga sebagian kalangan pejabat yang memberikan tudingan serupa. Ada yang berpendapat jika tanggul sungai tidak mampu menahan air, sehingga jebol dan mengakibatkan air sungai melimpas ke pemukiman warga.
Setelah dipikir-pikir, ada benarnya juga tudigan itu. Seandainya tanggul itu kokoh, air mestinya tidak mudah melewah ke jalanan dan kawasan permukiman. Tak heran, jika banyak pula yang mengusulkan agar tanggul yang kelak dibangun untuk penanggulangan banjir dan rob harus kualitas nomor wahid.
Tanggul harus kokoh, memiliki ketinggian yang mampu menghadang gempuran air berapapun volumenya. Makanya tidak jarang kita lihat di beberapa kawasan bantaran sungai yang “rawan” banjir terdapat tanggul yang tinggi, minimal 1 meter dari permukaan jalanan. Jadi kalau sungai meluapkan airnya ya yang harus disalahkan pokoknya tanggul sungai, kurang tinggi lagi!!!
2. Intensitas Hujan
Hal kedua, tingginya curah hujan. Warga biasa maupun beberapa pejabat kompak mengarahkan tudingan mereka. Bahwa intensitas hujan yang tinggi merupakan salah satu penyebab banjir.
Tidak salah juga sih. Hujan yang intensitasnya tinggi tentu akan membuat volume air juga tinggi. Sementara, daya tampung sungai maupun saluran-saluran air terbatas. Jadi, sekalipun hujannya ngriwis, kalau durasinya berhari-hari ya kemungkinan airnya mlèbèr juga tidak bisa diingkari.
BACA JUGA: Cerita Dua Penelepon tentang Dampak Banjir di Pekalongan
Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, air sungai di Pesanggrahan, Wonokerto, melembak sampai ke jalan-jalan kampung. Sebab, tanggulnya jebol. Andai, hujannya nggak sebegini galaknya, mungkin saja air sungai nggak sampai mbludag. Sehingga, hujan pun tidak akan disalahkan sebagai penyebabnya.
Tapi, intensitas hujan ringan pun di beberapa titik dan sudut kota pasti akan banjir deng. Jadi mau seberapapun intensitas hujannya pasti salah juga.
3. Sampah
Ketiga, yang paling mudah dan paling sering disebut-sebut menjadi biang kerok banjir adalah larahan alias sampah. Nggak gumun juga jika beberapa pejabat maupun warga tak sedikit yang ngandhani, “jangan buang sampah sembarangan” atau “jangan buang sampah ke sungai”. Jamaknya, pesan-pesan itu kerap disusuli dengan pernyataan, kalau ngguwak larahan di sungai bisa bikin banjir.
BACA JUGA: Keluh Kesah Seorang Warga Terdampak Banjir tentang Foto-foto di Medsos
Jelas, lewat nasihat itu, bisa diartikan kalau larahan atawa sampah itu bisa jadi penyebab banjir. Malah, kerep disalahkan ketika luapan air sungai mertamu di rumah-rumah warga sekampung. Kok bisa begitu? Karena kalau di kampung itu sampah paling sering dan banyak ditemukan di kolang-kolang (bhs. Indonesia: selokan). Sampai bikin mampet.
Sungai juga bisa cethèk gara-gara larahan ini. Jadi, sampahlah yang bertanggung jawab, bukan orang yang membuangnya, titik.
4. Tinggi Jalan
Hujan baru sebentar tetapi jalanan sudah dipenuhi air. Biasanya, fenomena itu akan diartikan bahwa jalannya kurang tinggi. Mungkin seperti itu nalar yang tertanam pada sebagian orang-orang kita.
Tetapi mau gimana lagi, nalar yang begitu mungkin ada benernya. Andai saja jalanan—terutama di daerah rawan banjir—itu tinggi, maka air hujan tidak akan mudah membuat jalanan tampak ngecembeng (bhs. Indonesia: menggenang). Kalaupun ada genangan air ya paling setinggi polok alias mata kaki. Makanya yang paling sering kita denger dan kita lihat ya proyek peninggian jalan kan ? Barangkali inilah cara cepat dan mudah mengatasi banjir.
Hal-hal itulah yang paling sering disalahkan orang ketika banjir melanda. Terus, bagaimana dengan pendangkalan sungai? Bagaimana juga dengan tata ruang kota?
Memang, ada beberapa gelintir warga yang menyoalkan pendangkalan sungai. Tetapi, jumlah pendukungnya sithik. Jadi ya kurang kuat pendapat itu.
BACA JUGA: Banjir Rob, Antara Relokasi VS Pembangunan Tanggul
Padahal, sakdhuwur-dhuwure tanggul dibangun, kalau masalah pendangkalan sungai nggak diberesi ya padha bae alias bedu alias sami mawon. Lama-lama air sungai akan kembali wutah ke perkampungan.
Sementara, urusan tata ruang di kota sepertinya masih sedikit yang memperhatikan. Kudunya, perencanaan tata ruang dan tata kota mempertimbangkan dampak ekologi dan ekosistemnya. Bukan sekadar etang-etung dampak ekonominya.
Lho, banjir Kalongan itu sudah ada kawit jaman Londo lho! Bahkan, mungkin sakdurungnya lagi. Kalau sampai jaman Londo nggak ninggali blueprint tata kota dan tata ruang kok rasanya aneh. Atau mungkin blueprint-nya memang nggak dikasihkan ke kita ya?
Wah, kalau sampai nggak dikasihkan ya kebangeten juga sih. Wong mereka sudah njajah dan merampas kekayaan negeri kita berabad-abad kok masih saja medit. Tapi, mungkin nggak sih kita njaluk blueprint itu ke mereka? Atau minimalnya minta ditunjukkan saja wis!?
Nèk masih angèl ya belajar kepada mereka deh! Misal, ngirim mahasiswa sebanyak-banyaknya ke sana. Kasih mereka beasiswa. Mereka diberi tugas untuk mempelajari teknik pembangunan tanggul, tata kota, tata ruang, dan lain-lain asal masih ada hubungannya dengan masalah banjir dan rob.
Wah, sepertinya kok jadi berandai-andai. Walau begitu, seandainya nih ya seandainya lho ya, seluruh warga membiasakan menempatkan sampah pada tempat yang tepat—tidak ke selokan maupun ke sungai—sepertinya masih aja akan banjir.
BACA JUGA: Banjir Rob & Tenggelamnya Pekalongan 34 cm per Tahun
Sebab apa? Sebabe intensitas hujannya gedhé dan tanggulnya kurang dhuwur manèh og. Lagipula kalau mau jalanan bebas banjir itu harus bikin sistem drainase yang benar-benar berfungsi. Dan untuk mewujudkan sistem drainase yang baik sepanjang jalan juga repot bos, butuh anggaran gedhé. Lagian sistem drainase selokan itukan biasanya akan menuju ke sungai, nah sungainya aja sudah ditanggul sedemikian tinggi, lantas air dari selokan mau mengalir lewat mana? Ya pora sih?