KOTOMONO.CO – Hidup kok pilihan? Rasa-rasanya nggak banget deh! Menurut saya hidup itu proses. Soal kemudian seseorang hidup senang atau susah, itu bergantung bagaimana ia menyelami prosesnya. Setuju?
Oke deh, karena udara yang kita hirup adalah udara demokrasi, saya tak memaksa. Anda boleh setuju, boleh tidak. Tetapi, izinkan saya menyampaikan pandangan saya. Boleh ya?
Gini, setiap orang pasti punya tujuan hidup. Rata-rata, tujuannya sama. Yaitu, meraih kebahagiaan dalam hidup. Betul?
Tetapi, rupanya untuk mencapai cita-cita itu setiap orang mengalami perjalanan nasib yang berbeda-beda. Dari sekian banyak perbedaan itu, ada banyak hal yang serupa. Yaitu, sama-sama pernah mengalami penderitaan. Ya kan?
Eit! Nggak usah tengok kanan-kiri dulu. Tengok aja ke dalam diri kita masing-masing. Pernah kan merasakan penderitaan?
Nah, rasa menderita dan mengalami kesusahan pada diri manusia adalah fitrah. Tetapi, untuk mengerti penderitaan tiap-tiap orang tidak bisa semata-mata mendasarkan pada apa yang tampak di permukaan. Namanya juga rasa, pastinya ia tersimpan di dalam relung hati.
BACA JUGA: Surat Terbuka untuk Perempuan yang Selalu Dituntut ‘Manut’ dengan Pasangannya
Sementara yang tampak di luar, bisa saja sebagai alibi. Dalam gelimangan harta, seseorang bisa saja tampak hidup enak dan penuh kesenangan. Tetapi, siapa yang tahu jika hatinya keropos dan terkorosi oleh rasa derita yang bertahun-tahun. Baru ketika ia jatuh miskin, eh ia malah mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Siapa tahu, kan?
Itulah mengapa, untuk mengetahui rasa derita seseorang tidaklah mudah. Orang cenderung menutupi rasa deritanya ketika ia tahu bahwa hidupnya tampak menyenangkan. Jadi, tak perlu berkecil hati jika hidup yang kita jalani saat ini serba tak mengenakkan. Jangan pula memperlihatkan rasa derita itu kepada publik. Itu sama artinya merendahkan diri sendiri.
Yang jelas pasti, di dalam rumus kehidupan, kita mengenal bagaimana sebuah proses hidup itu mesti diawali dari kesusahan. Orang bisa saja berkali-kali merasakan sakitnya jatuh dan susahnya bangkit dari keterpurukan. Tetapi, semakin kita mampu mengambil banyak pelajaran dari derita yang kita alami, kita akan semakin didewasakan oleh keadaan. Dididik untuk bisa mengambil sikap yang tepat.
BACA JUGA: Apa Iya, Perjodohan adalah Jalan Terbaik?
Memang, soal nasib boleh saja beda. Dan, memang harus beda. Kalau sama, maka kehidupan ini akan berjalan monoton. Kurang bumbu, istilahnya.
Ada orang yang hidupnya menyenangkan. Tak terlihat ia punya kesulitan atau rasa susah. Sepanjang hayatnya, ia hidup dalam kesenangan. Ya, biarkan saja begitu. Ada juga yang sepanjang hidupnya selalu merasakan kesusahan. Mungkin saja itu cara Tuhan memberi kita kepercayaan, bahwa kita adalah orang yang jauh lebih kuat menanggung kesusahan daripada mereka. Sesimpel itu.
Bayangkan saja, mereka yang terbiasa hidup dalam kesenangan, apapun akan selalu disiapkan asisten rumah tangganya. Mulai dari makan, minum, cuci baju, setrika baju, sampai hal-hal sepele semua diladeni pembantu. Tiba-tiba mereka kehilangan semua fasilitas kemudahan itu. Apa yang terjadi? Tentu, mereka akan merasa kesulitan.
Sementara, orang yang hidup selalu serba ditangani sendiri, sudah tentu akan menjadi kebiasaan. Apa yang menurut mereka berat, di tangan kita begitu ringan dikerjakan. Sehingga, begitu hidup kita berubah, kita mungkin saja masih sanggup mengerjakan semua itu dengan tangan sendiri.
BACA JUGA: Tahap-Tahap Menuntut Ilmu Menurut Umar bin Khattab
Jadi, benarkah hidup itu soal pilihan? Ternyata bukan. Hidup adalah bagaimana kita mampu mengolah diri kita dengan seabrek aktivitas yang mendukung perputaran roda kehidupan agar terus berjalan. Setiap perputaran tentu akan menghasilkan pemahaman-pemahaman baru. Pemaknaan-pemaknaan yang semestinya menyegarkan.
Sayang, dalam beberapa hal tak jarang kita temui kenyataan lain. Bahwa hidup ternyata tak hanya mengandalkan diri sendiri. Selalu ada bagian-bagian lain dari diri kita yang akhirnya turut membentuk kita. Paling umum, adalah tuntutan keluarga. Lebih-lebih tuntutan itu mengikat dan menekan. Bisa saja kita akan mengalami depresi setiap hari. Apalagi jika tuntutan itu selalu didengung-dengungkan di dalam rumah. Wah, mirip tawon. Bikin sebel sekaligus cemas.
Terus terang, saya lebih senang hidup santai. Tidak menganggap segala sesuatu menjadi beban besar. Hidup yang saya jalani pun selalu setia pada suasana diri sendiri. Tiba-tiba, saya dituntut untuk ini itu dan segera.
Tak pelak lagi, saya merasakan ketidaknyamanan hidup. Rasanya ingin sekali pergi dan menghilang dari peredaran. Pergi sejauh mungkin hingga segala bentuk ungkapan bernada menuntut tak mampir ke telinga.
BACA JUGA: Dunia Pendidikan Bukan Dunia Isolasi
Misal, ketika kita telah memancangkan sebuah cita-cita, melanjutkan pendidikan tinggi, tiba-tiba orang tua menuntut kita untuk segera menikah. Nikah muda! Kira-kira apa perasaanmu?
Fyuh! Rasanya ingin minggat kalau saya. Sebab, sulit juga menolak. Sedang, kalau masih kekeuh dengan keinginan melanjutkan studi, siapa pula yang akan menanggung biayanya?
Pilihan yang sulit bukan? Tetapi, begitulah ketika kita menjalani kehidupan karena keinginan orang lain bukan dari diri kita sendiri. Mungkin bisa kita lewati, tetapi dengan terpaksa yang akhirnya menjadi biasa. Walaupun mungkin hal ini akan menjadi beban, karena hidup sesuai keinginan orang lain bukan dari keinginan kita sendiri.
Saya cukup beruntung. Saya memang belum mau nikah muda. Saya masih bisa menikmati pendidikan sampai saat ini. Saya kira, nasib baik masih berpihak kepadaku, memberikan kesempatan menempuh pendidikan kuliah, walaupun melanjutkan pendidikan di kampus swasta.
BACA JUGA: Stop Berdebat! Beban Anak Pertama, Tengah, dan Akhir itu Sama Saja
Sampai di sini pun, saya masih harus melewati banyak hal. Makanya, mental perlu diasah, diperkuat pula ibarat baja. Jika mental tidak dibentuk sekuat baja, mungkin saja tidak akan sampai pada posisi kali ini.
Tak sedikit orang menganggap hidup yang saya jalani sangatlah menyenangkan. Mereka hanya melihat dari satu sisi. Bahwa saya adalah seorang mahasiswa. Tak heran jika mereka menganggap saya orang mampu.
Padahal, ketika mendengar ungkapan bernada pujian itu hanya senyuman yang saya balaskan. Seraya mengucap “amin”. Ya, siapa tahu ungkapan itu adalah doa.
Selebihnya, saya bisa cekikikan. Karena keadaan yang saya alami sesungguhnya tidak seperti pandangan mereka. Bagi saya, tidak semudah itu untuk mencapai posisi saya seperti saat sekarang ini.
Saya mesti melewati banyak hal yang menguras dan membolak-balikan mental. Dituntut ini itu, nilai harus tinggi, tidak boleh ini itu, harus ini itu dan sebagainya. He he ini itu, pahamlah kalian apa ini itu, kalau tidak paham ya sudahlah lupakan saja biar jadi rahasia.
Asal tahu saja, ketika masih semester 3, saya juga pernah dituntut segera menikah. Baru setelah itu, saya dibolehkan lanjut kuliah lagi. OMG! Emang nikah serupa beli cilok? Tinggal nyari penjual cilok lalu beli.
BACA JUGA: Perempuan dari Perspektif Kisah Asmara Kawan Saya
Nikah kan butuh biaya, kecuali memang kita dapat jodoh yang mau menanggung semua biaya pernikahan dan kehidupan kelak ketika sudah menikah. Dan menerima kita, masih belum bekerja dan berstatus sebagai mahasiswi serta berniat melanjutkan pendidikan setelah menikah nantinya.
Terkadang apa sih yang dipikirkan mereka? Wong calonnya saja belum punya. Lantas, menikah dengan siapa? Jangan bilang pilihan mereka, oh tidak bisa. Sekarang bukanlah zaman seperti orang dulu, yang nikah karena perjodohan.
Mungkin, saya termasuk orang yang menolak mentah-mentah perjodohan. Mungkin memang niatnya baik, tetapi saya juga memikirkan masa depan. Iya, mereka bilang mungkin mudah, cinta bisa datang dengan sendirinya, karena terbiasa bersama. Tapi kan saya yang akan merasakan nantinya, jika mengikuti keinginan mereka belum tentu seperti harapan yang diinginkan.
Ah, rasanya hidup di bawah bayang-bayang keinginan orang lain teramat repot. Tetapi, nyatanya ada yang begitu. Bagi saya, orang macam ini tergolong mudah goyah. Tak memiliki pendirian dan keberanian untuk mengambil sikap.
BACA JUGA: Cinta dan Pengorbanan Itu Sepaket, Nggak Bisa Ditawar
Ingat, ini bukan berarti tidak manut kepada orang tua. Justru dengan pendirian kuat dan punya keberanian bersikap, kita mesti bisa mengkomunikasikan segala hal tentang diri kita secara terbuka. Dengan cara itu, orang yang terlalu banyak menuntut kita pun kelak dapat memaklumi.
Iya sih, mungkin dengan manut ada banyak dampak positif bagi kehidupan yang kita jalani. Tetapi, apakah dengan cara itu kita dijamin hidup bahagia?