KOTOMONO.CO – Menengok masa lalu Kota Pekalongan itu seperti membuka jendela kusam yang kayu-kayunya telah lama lapuk. Mungkin karena termakan usia. Mungkin pula saking lamanya tak terurus. Apalagi sejak dulu kawasan pesisir utara Jawa Tengah ini menjadi salah satu kawasan dagang yang super sibuk. Wajar jika catatan-catatan masa lalunya tak terawat karena saking sibuknya.
Padahal, di balik jendela itu berjejer kisah-kisah inspiratif. Berderet pula nama-nama tokoh dengan energi kreasinya yang menginspirasi banyak orang, bahkan mewarnai pertumbuhan kota. Menjadi perbincangan sehari-hari di tengah warga.
Sebut saja salah satunya, Hoo Tong Koey. Bagi sebagian besar generasi milenial penghuni kota kreatif ini, nama Hoo Tong Koey terasa asing di telinga. Selain namanya yang tak cukup akrab di lidah, nama itu tak pernah dikenalkan pula dalam buku-buku sejarah di Pekalongan. Tetapi, bagi sebagian kecil generasi tua nama itu sudah melekat di telinga mereka. Lantas, apa yang membuatnya dikenal? Ada banyak alasan untuk menyebut tokoh yang satu ini dikatakan punya pamor.
Pertama, sekalipun seorang Tionghoa, rupanya ia punya minat besar terhadap kesenian-kesenian daerah. Ia begitu senang melihat orang memainkan seperangkat gamelan Jawa. Boleh dibilang, mendengarkan gending-gending Jawa sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Sampai-sampai ia menyimpan seperangkat alat musik tradisional Jawa itu di kediamannya. Bahkan, sempat pula membentuk kelompok nayaga. Di kediamannya, kelompok panembrama ini berlatih dan sesekali membikin pertunjukan.
Baca juga : Ini Dia, Profesor Linguistik Dunia Asal Pekalongan
Selain memiliki kelompok penabuh gamelan, Hoo Tong Koey juga punya kebiasaan yang royal. Yaitu, suka nanggap kesenian cokek. Sebuah pertunjukan tari pergaulan yang memadukan tari tradisional Tionghoa dengan tarian Sunda-Betawi dan unsur pencak silat. Iringannya berupa gambang kromong.

Saat ia nanggap cokek, ia tidak hanya menikmatinya sendiri. Selalu saja ada kolega-kolega yang sengaja diundang. Saat kesenian cokek itu dimainkan, ia bersama para tetamu duduk di kursi beludru yang mewah. Menikmati bersama kesenian itu sambil melakukan negosiasi-negosiasi dagang.
Sepertinya memang sudah menjadi kelaziman. Seorang pengusaha besar dengan kedudukan yang cukup dihormati mesti menyajikan aneka ragam hiburan. Menghadirkan kesenian ini di hadapan para kolega yang diundang secara khusus. Ya, rupanya kesenian tradisional macam cokek sepertinya memberi nuansa yang baru bagi kehidupan para pebisnis Tionghoa. Selain menghibur, penampilan kesenian cokek ini bisa dijadikan sebagai sarana untuk mengumpulkan orang-orang berpengaruh dan sejumlah pengusaha. Juga menjadi ajang untuk membincangkan bisnis mereka.
Baca juga : Oey Soe Tjoen, Legenda Batik Tionghoa dari Pekalongan
Kedua, gaya hidupnya yang royal seolah ingin memperlihatkan bahwa Hoo Tong Koey bukanlah orang sembarang orang. Dan memang, ternyata dia ini seorang pengusaha kaya. Ia sangat berbakat membaca peluang. Di usia yang relatif muda (18 tahun), ia menjalankan bisnis tembakau. Maklum, pada masa itu—abad ke-19—tembakau sedang populer-populernya. Apalagi setelah Van den Bosch mulai menerapkan kebijakan penanaman tembakau secara massal lewat cultuurstelsel.
Nah, soal tembakau, sebenarnya tembakau sudah dikenal sejak lama. Jauh sebelum Van den Bosch memaksa orang-orang menanam tembakau. Tembakau merupakan barang mewah. Hanya dikonsumsi para raja atau para bangsawan. Selain itu, tembakau juga ramai diperdagangkan di hampir seluruh negara-negara di dunia.
Peluang bisnis lain yang dijalankannya adalah batik yang pada era 1800-an naik pamor menjadi industri. Bersama kolega-koleganya yang orang berkulit putih dengan rambut pirangnya, Hoo Tong Koey ikut meramaikan industri batik. Untuk keperluan ini, Hoo Tong Koey mengembangkan beberapa motif batik dengan menampilkan corak-corak kebudayaan Eropa, India, Timur Tengah, dan Tiongkok.

Ia tak sendirian. Usahanya menjalankan bisnis batik dilakukan bersama istrinya, istrinya, Tan Seng Nio. Sebelumnya, Tan Seng Nio menjalankan bisnis jamu dan balsam. Namun, perkenalannya dengan Hoo Tong Koey membuatnya punya obsesi lain. Ia kembangkan usaha batik dan mengembangkan bisnis bahan pewarna batik. Langkah ini diambil bersamaan dengan terpuruknya industri tekstil di India pada masa 1840-an.
Baca juga : Mubarak Kelip, Si Cabe Rawit Andalan Timnas Indonesia
Usaha yang dirintis dari halaman belakang rumah yang ia sulap menjadi pranggok (bengkel batik) membuahkan hasil panenan yang benar-benar bikin senyum mengembang. Karya batik mereka diterima dengan terbuka oleh sejumlah kolega yang memang menyukai batik. Terlebih dalam hal pewarnaan yang juga mendorong pengembangan toko obat batik.
Tidak hanya itu, Hoo Tong Koey rupanya juga memainkan bisnis dagang bahan-bahan baku batik lainnya. Terutama kain. Tahun 1911, ia rintis bisnis dagang kain itu. Ia kembangkan pula bisnis dagang kainnya dengan mendirikan toko “Moerah” dan sebuah perusahaan firma Hoo Tjing Thay. Perusahaan itu hanya mampu ia pertahankan hingga tahun 1920.
Selepas menutup toko dan perusahaan firmanya itu, nyaris tak ada yang dapat dijalankan. Barulah enam tahun kemudian, ia kembali menghidupkan usahanya. Ia membangun perusahaan baru, N.V. Handel-Maatschappij Swie Mo atau toko “Adel”. Di toko ini, ia menjual aneka macam kain, batik, sarung, dan obat-obatan pewarna. Perusahaan itu ia kelola sendiri.
Ketiga, Hoo Tong Koey juga tercatat sebagai seorang aktivis. Beberapa organisasi dan komunitas Peranakan Pekalongan ia ikuti. Ia pernah menjadi co-founder sekaligus ketua Hoo Gie Hwee. Ia juga merupakan salah seorang yang duduk di dewan THHK dan Joe Gie sebagai anggota. Aktif pula sebagai anggota Bank Umum Perkreditan Rakyat (Algmeene Volkscredietbank) Pekalongan.
Baca juga : Mengenal Eliza Van Zuylen Maestro Seniman Batik Indo-Eropa
Segudang aktivitasnya itulah yang kemudian membuatnya diangkat sebagai Letnan Tionghoa (Lieutnant der Chinezen) oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebuah pangkat presitisius pada masa itu. Sebab, selain kelihatan mentereng, pangkat ini menandai bahwa seseorang akan bertugas sebagai penanggung jawab atas segala urusan orang-orang Tionghoa dengan pemerintah Kolonial Belanda. Pangkat ini merupakan pangkat tertinggi ketiga dari Peranakan dalam hierarki Kolonial Hindia Belanda setelah Mayor dan Kapitan. Jabatan itu ia sandang selama tiga tahun (1927-1930).
Ya, Hoo Tong Koey adalah sosok yang multiperan. Pengusaha, aktivis, pencinta seni, juga seorang aparatur pemerintahan Kolonial Belanda. Namanya tercatat sebagai seorang Tionghoa yang lahir di Pekalongan. Ia merupakan keturunan generasi keempat keluarga Hoo yang datang dari Amoy (Xiamen, Fujian, China) ke Pekalongan pada abad ke-18. Dari nenek moyangnya Hoo Tong Koey mewarisi sebidang tanah di kawasan Jalan dr. Cipto. Luasnya 2000 meter persegi.
Di atas lahan itu pula, di tahun 1918, pasangan Hoo Tong Key dan Tan Seng Nio membangun sebuah rumah megah. Ornamen Tiongkok begitu kental pada bangunan rumah itu. Hingga kini, rumah tua itu masih berdiri kokoh. Malah menjadi daya tarik tersendiri manakala berpadu dengan bangunan hotel mewah yang mengapitnya.

Ada alasan yang kuat mengapa bangunan tua itu dipertahankan. Salah satunya wasiat Hoo Tong Koey, yang menghendaki agar rumah itu digunakan sebagai tempat istirahat bagi tamu ketika sudah tidak ditinggali. Harapan itu pun terwujud begitu keturunan Hoo Tong Koey-Tan Seng Nio memanfaatkan lahan di luar bangunan rumah sebagai hotel bintang tiga. The Sidji Hotel. Bahkan, dinobatkan pula sebagai hotel heritage pertama di Pekalongan.